Selasa, 23 April 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)



Hak asaasi manusia (HAM) adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahiekan. Hak asasi merupakan hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia. Yang mana hak asasi ini dimiliki oleh seseorang adalah semata-mata karena dia manusia bukan karena pemberian oleh masyarakat melainkan pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) ini pertama kali dipermasalahkan oleh pemikir-pemikir di negara barat, yang pada perkembangan selanjutnya orang mulai membandingkan konsep-konsep barat dengan konsep-konsep sosialis dan konsep-konsep dari dunia ketiga tentang HAM.
Secara historis, HAM selalu diwarnai dengan serangkaian perjuangan yang tak jarang menjelma menjadi revolusi. Bahkan sejarah mencatat banyak kejadian yang terjadi baik secara individu maupun kelompok mengadakan perlawanan terhadap penguasa ataupun golongan untuk memperjuangkan apa yang menjdi haknya.
Di negara Barat, “Revolusi Perancis” dianggap sebagai tonggak perjuangan hak asasi manusia. Sejak pertengahan abad ke tujuh belas dengan berbagai rangkaian revolusi, sudah banyak usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Hal ini kerap kali timbul ketika terjadi hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan dan merendahkan martabat seseorang sebagai manusia.
Sebelum Revolusi Perancis (1789) Montesqui pernah mengingatkan tentang hal “There is not word that has been given varied meanings and evoked more varied emotions in the human heart than liberty”, bahkan lebih lanjut ia juga mengatakan some have taken it as means of deposing him on whom they had conferred a tyrannical authority; other again have meant by liberty the privilege of being governed by a native of their own country, or by their own laws; some have annexed this name to one from government exclusively of others; those we had republican taste applied it to this species of government; those who liked a monarchical state gave it to monarchy.
Dalam arti yang murni, paham kemerdekaan itu antara lain berwujud :
1.      Kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pikiran serta menganut keyakinan sendiri;
2.      Kemerdekaan untuk bersatu dengan teman-teman yang sepaham serta mempunyai tujuan-tujuan tertentu (kemerdekaan untuk berkumpul dan bersidang);
3.      Kemerdekaan untuk mengatur penghidupan sendiri tidak seperti yang diperintahkan oleh kekuasaan yang berada di atasnya.
Sebelum abad masehi, perjuangan dalam pembelaan hak asasi manusia pu telah dilakukan. Hal tersebut dapat dilihat dalam upaya-upaya tersebut :
*      Hukum Hamurabi di Babylonia yang menetapkan adanya aturan hukum yang menjamin keadilan bagi semua warga di negara Babylonia. Hukum tersebut terkenal sebagai jaminan hak asasi manusia.
*      Solon di Athena yang mengajarkan bahwa orang-orang yang diperbudak karena tidak mampu melunasi hutangnya harus dibebaskan.
*      Justianus (Kaisar Romawi, tahun 572 SM) merumuskan peraturan yang menjamin atas keadilan dan hak asasi manusia.
*      Para filsuf Yunani Kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang mengemukakan pikirannya tentang jaminan hak asasi manusia.
Selanjtnya masalah tentang penegakan HAM ini berkembang di Inggris. Perjuangan para bangsawan Inggris telah melakukan perjuangan utuk mendapatkan kembali hak-haknya yang telah dicampakkan oleh raja John yang bertahta pada saat itu, yang akhirnya melahirkan Piagam Agung “Magna Charta” (1215) yakni sebuah dokumen resmi yang isinya antara lain memberikan batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolute dan totaliter sehingga hak-hak dasar rakyat tetap terjamin. Kemudian pada tahun 1689, di Inggris diasahkan oleh parlemen Inggris sebuah undang-undang hak yakni  “Bill of Rights”, setelah sebelumnya terjadi revolusi berdarah yang dikenal dengan nama “The Glorious Revolution”. Revolusi ini merupakan revolusi emanisipasitorik untuk memberikan perlawanan terhadap raja James II yang berkuasa saat itu.
Gerakan emanisipasitorik dan revolusi kemanusian yang terjadi menjadi sumber inspirasi timbulnya gerakan revolusioner di Perancis dan Amerika. Pada tahun 1789, di Perancis dicetuskan Declarastion des Droits de l’home st du Citoyen, sebuah deklarasi yang menjamin persamaan hak dan penghormatan terhadap harkat dan mertabat kemanusiaan yakni Liberte, egaliite dan fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), yang kemudian menjadi akar demokrasi dan menyebar ke berbagai penjuru dunia, serta mampu menumbuhkan inspirasi pada banyak bangsa untuk mencari alternative demokratif bagi system politik lama. Demikian pula di Amerika, pada kurun waktu yang hamper bersamaan disahkan sebuah undang-undang hak (the bill of rights) yang kemudian menjadi bagian utama dari Undang-undang Dasar Amerika pada ahun 1791. Bill of Rights maupun Declarastion des Droits de l’home st du Citoyen merupakan konkrettisasi kemauan masyarakat (volente generale) untuk membentuk peraturan hukum yang secara formal dapat menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia agar para penguasa tidak bertindak sewenang-wenang, represif dan otorite terhadap yang lemah dan tidak berkuasa.
Gerakan-gerakan emansipasitorik tersebut lebih banyak mendapat inspirasi dari gagasan-gagasan hukum alam  (nature law) sebagaimana diintrodusir oleh John Locke (1632-1704) dan Jean Jaques Rousseau (1722-1788). Dalam mazhaab hukum alam konsepsi dasar hak-hak asasi manusia hanya meliputi the right to life, the right to liverty, dan the right to property.
Menurut John Locke, manusia mula-mula belum bermasyarakat, tetapi berada dalam keadaan alamiah, state of nature yaitu suatu keadaan dimana belum terdapat kekuasaan dan otorita apa-apa, semua orang bebas dan sama derajatnya. Selanjutnya dalam perkembangannya, diantara orang-orang tersebut terjadi cekcok karena adanya perbedaan pemikiran dan pemilikan harta benda. Dalam kondisi “state war” sepertiitu, timbul pemikiran untuk melindungi nilai-nilai mereka yang paling fundamental dan esensial seperti hak untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak terhadap milik pribadi. Selanjutnya mereka membuat perjanjian untuk bermasyarakat dan menyerahkan sebagian dari hak-hak mereka kepada pemimpin dan pemimpin bertugas melindungi hak-hak mereka tersebut. Menurut Locke ada hak-hak individu dan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya dan diserahkan kepada pemimpin, hak tersebut adalah hak atas hidup, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi, karena semua hak tersebut adalah hak yang diterima manusia sejak ia dilahirkan.
Perkembangan selanjutnya, konsepsi-konsepsi hak-hak asasi manusia terus mengalami perubahan. Hak-hak asasi manusia warisan masa lampau ternyata tidak responsive dan aspiratif lagi dengan situsai social yang makin lama makin berkembang, sehingga perlunya perllindungan terhadap hak-hak diluar hak yang bersifat yuridik politik saja seperti hak dalam bidang ekonomi, social, dan budaya. Dalam hal ini, presiden Amerika Franklin D. Roosevelt pada permulaan abad ke-20 memformlasikan 4 macam hak-hak asai yang kemudian dikenal dengan “The Four Freedoms”, yaitu freedom of speech, freedom of religion, freedom fear dan freedom from want. Roosevelt menyatakan bahwa hak manusia harus juga mencakup bidang ekonomi, social dan budaya.
Dimensi hak-hak asasi yang dirumuskan oleh D. Rosevelt itu kemudian menjadi inspirasi dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari “Declaration of Human Rights ” tahun 1948 di mana seluruh umat manusia melalui wakil-wakilnya tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seia sekata bertekad untuk memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridik formal terhadap hak-hak asasi dan merealisasikannya. Dalam deklarasi tersebut manusia mendapat posisi sentral dimana harkat dan martabat manusia, hak- hak dan kebebasan asasinya di junjung tinggi dengan tak ada pegecualian apa pun. Secara teoritik deklarasi tersebut dikelompokkan dalam 2 bagian yaitu bagian pertama menyangkut hak- hak politik dan yuridik, bagian kedua menyangkut hak- hak atas martabat dan integritas manusia, dan bagian ketiga menyangkut hak- hak social, ekonomi, dan hak- hak budaya. Konsekwensinya hak- hak asasi manusia harus dilihat dan dipahami secara utuh, tidak parsial. Namun dalam faktanya tidak demikian, kerap kali hak- hak yang diutamakan adalah hak- hak politik dan yuridis. Dari situasi tersebut tampaklah deklarasi HAM tahun 1948 itu isinya sarat dengan hak- hak politik dan yuridik dan bahkan menjadi ciri khasnya. Deklarasi ini dalam pembabakan perkembangan konsepsi hak- hak manusia disebut sebagai “generasi pertama hak- hak asasi manusia.”
Pada awal tahun 1960 baru ada upaya dari komisi hak asasi PBB untuk merekonseptualisasi dan mereaktualisasi hak- hak aktualisasi manusia dan dalam upaya ini hak- hak dalam bidang ekonomi, social, dan budaya mendapat posisi perhatian yang lebih besar. Pada tahun 1966 upaya tersebut mencapai puncaknya ketika sidang umum PBB mengesahkan international convenant on economic, social and cultural rights and international convenant on civil and political rights serta protocol tambahan yang mengatur hak- hak sipil dan politk. Dua konvenan inilah yang menjadi dokumen dasar “generasi II” konsepsi dasar HAM sebagai babak baru dalam perkembangan HAM.
Pada generasi II hak- hak ekosop mendapat perhatian yang sangat besar dan merupakan reaksi antitesa terhadap konsepsi dasar generasi I HAM yang lebih menekankan hak politik dan yuridik.
Bila diamati secara teliti pada dasarnya kedua dokumen HAM baik dokumen tahun 1948 maupun dokumen tahun 1966 sulit sekali dibedakan karena keduanya mengantur tentang baik hak-hak yuridik, politik, maupun hak- hak ekonomi, social dan budaya namun sulit sekali menghilangkan kesan bahwa dokumen hak asasi tahun 1948 sarat dengan hak- hak yuridik dan politik sedangkan dokumen asasi 1966 sangat sarat dengan hak- hak ekosop.
Perkembangan konsepsi dasar hak-hak asasi manusia dari generasi I sampai dengan generasi II mencerminkan perubahan pemikiran umat manusia mengenai hak asasi manusia. Karena itu konsepsi dasar hak- hak asasi manusia, baik generasi I yang mempunyai ciri keutamaan pada pelaksanaan hak- hak politik dan hukum, maupun generasi II yang mempunyai ciri keutamaan pada pemenuhan hak- hak ekosop harus disintesakan menjadi konsepsi baru yang lebih luas dan secara akomodatif mampu mencakupi isi dan ruang lingkup konsepsi dasar generasi I dan generasi II HAM yang dalam pembabakan sejarah perkembangan hak- hak asasi manusia disebut “The rights to development” yaitu hak-hak atas pembangunan, dan inilah yang merupakan “generasi II” HAM.
Hak-hak atas pembangunan sebagai paradigma baru terhadap hak-hak asasi manusia muncul sebagai reaksi dan protes terhadap pola pembangunan yang dilakukan oleh negara- negara dunia ketiga dimana makna pembangunan telah mengalami distorsi yang sangat parah. Pola pembangunan yang diterapkan yaitu pola pembangunan yang memberikan priorioritas pada pembangunan dan ekonomi dan pembangunan  dalam bidang-bidang lainya dikecualikan. Pola pembangunan yang seperti itu mensyaratkan terpeliharanya stabilitas dan untuk mencapai hak tersebut  hak-hak dan kebebasan dasar rakyat harus dipreteli dan bila perlu dicampakkan.
Hak- hak atas pembangunan pasda dasarnya bukanlah hak- hak yang baru sama sekali akan tetapi merupakan perluasan dan penekanan kembali terhadap beberapa pasal yang tercantum dalam universal declaration of human rights dan menjadi elemen-elemen utama dari konsepsi hak- hak atas pembangunan. Pada prinsipnya the rights to development merupakan hak rakyat mayoritas untuk membebaskan diri dari belengu kemiskinan, ketidak adilan, keterbelakangan, kemelaratan dankeragu-raguan. Karena itu pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang secara sengaja dibuat untuk menciptakan kondisi-kondisi sehingga setiap orang dapat menikmati, menjalankan, memanfaatkan semua hak asasinya baik dibidang ekonomi, social, budaya maupun politik. Pembangunan yang dilaksanakan harus pula memperhatikan, menghormati hak- hak tersebut secara professional tanpa mengutamakan yang satu dan mengabaikan yang lainnya.













Sumber / refernsi buku :
Harman, Beny K. dan Paul S. Baut. 1988. Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia. Jakarta : Yayasan lembaga Bantuan Hukum.
Sunggono, Bambang dan Aries Harianto. 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: Mandar Maju.

MENGENALI KECERDASAN

Kecerdasan menurut Howard Gardner
  • Kecerdasan Bahasa => menikmati membaca menulis, mendengarkan dan berbicara dan semua itu dilakukan dengan mudah; senang menghafal informasi dan memperluas perbendaharaan kata dan mungkin pendongen yang handal.
  • Kecerdasan Musik=> dapat merasakn adanya nada, komposisi dan irama dalam berbagai benda yang tampak tak memiliki hal itu sama sekali dan mungkin lihai dalam memainkan satu atau lebih alat musik  dengan cara hanya mendengar dan bimbingan serta berkemungkinan menyenai berbagai jenis musik.
  •  Kcerdasan Matematis-Logis=> mampu secara naluriah mengkategorisasi berbagai barang dan lihai menghitung di kepala; angka dan konsep matematika terasa sangat mudah dan menyukai permainan asah otak, puzzle dan komputer.
  • Kecerdasan kinetik=>lihai menggunakan dan memanupulasi benda serta mampu menggerakan tubuh dengan anggun dan mudah: suka melatih tubuh agar tetap bugar dan bisa menirukan gerakan dengan baik dan bisa jadi berbakat pada satu jenis keterampilan atau lebih.
  • Kecerdasan Visual-Spasial=>mampu mengetahui secara langsung sebuah banguna tidak terlalu simetris dan mampu membayangkan dari segala sisi bentuk-bentuk sulit dalam pikiranmu serta menggambarkan apa saja yang kamu lihat.
  • Kecerdasan Interpersonal=>mampu memahami orang lain dengan mudah dengan menganalisis suasana hati dan perasaan mereka dan mampu meleraikan pertengkaran antara dua teman dan tetap berteman baik dengan mereka.
  • Kecerdasan Intrapersonal=>mampu memahami diri sendiri dengan sangat baik dan sangat yakin akan perasaan2, impian, dan pikiranmu serta setia terhadap apa yg dicita2kn.
  • Kecerdasan Naturalis=> mampu merasakn keterkaitan yang mendalam dengan alam dan seisinya, baik tanaman maupun hewan, suka bereksperiman dan mengamati alam terbuka serta handal dalam berkebun dan memasak.
kecerdasan yang manakah yg kamu miLiki??? :)

Jumat, 12 April 2013

PROSES PEMBENTUKAN KUHAP



            Penyusunan rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimulai pada tahun 1967 dengan dibentuknya panitia intern departemen kehakiman. Tapi sebenarnya embrio dalam rangka pembentukan Undang-Undang  Hukum Acara Pidana sudah ada sejak tahun 1965. Waktu itu sudah ada Draft Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dibicarakan dalam forum DPRD. Oleh pemerintah Draft ini dapat ditarik kembali karena belum dapat dipertanggungjawabkan.
            Berikutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II di Semarang, tentang Hukum Acara Pidana dan Hak-Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Ditahun 1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman dengan memperhatikan kesimpulan Seminar Hukum Nasional tersebut menghasilkan naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang kemudian dibahas bersama oleh suatu tim antardepartemen, yakni Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan Departemen Kehakiman, yang dipimpin oleh Menteri Kehakiman Prov.Oemar Seno Adji.
            Pembahasan oleh tim antar Departemen ini untuk beberapa materi mengalami jalan buntu, sehingga sulit dipertemukan.
            Adapun materi yang dimaksud adalah tentang:
1.      Penyidikan dan penyidikan lanjutan;
2.       Koordinasi, pengawasan dan pemberian petunjuk oleh jaksa kepada Penyidik;
3.      Rechter Commissaris/Hakim Pengawas dan
4.      Pemberian bantuan hukum;
Untuk memecahkan perbedaan pendapat-pendapat tersebut diatas, maka atas prakarsa Menteri Kehakiman diadakan pertemuan tiga pimpinan tertinggi instansi penegak hukum, yaitu Menteri Kehakiman Prof.Oemar Seno Adji, Jaksa Agung Ali Said,S.H, dan Kapolri Jenderal Pol.Drs.Moch.Hasan,S.H, yang dikoordinasikan oleh Men.Hankam/Pangab yang pada waktu itu diwakili oleh Kaskopkamtib Laksamana Sudomo.
Sementara pembahasan dan penyusunan Rencana Undang-Undang yang disepakati bersama belum selesai, pada tahun 1974 terjadi pergantian Menteri Kehakiman dari Prof.Oemar Seno Adji kepada Prof.Dr.Mochtar Koesoemaatdja. Pada waktu Prof.Dr.Mochtar Koesoemaatdja menjadi Menteri Kehakiman itu, penyempurnaan rancangan tersebut diteruskan. Pada tahun 1974 rancangan itu dilimpahkan pada Sekretariat Kabinet oleh Menteri Kehakiman.
      Setelah oleh Sekretariat Kabinet diminta lagi pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan Departemen Kehakiman, maka naskah rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut dibahas kembali dalam rapat koordinasi antara wakil-wakil dari keempat instansi tersebut.
      Setelah Moedjono,S.H menjadi Menteri Kehakiman, nampaknya kegiatan dalam penyusunan tersebut diintensifkan dan pada tahun 1979 diadakan pertemuan antara Menteri Kehakiman Moedjono,S.H, Jaksa Agung Ali Said,S.H, Kapolri Jenderal Pol.Dr.Awaluddin,MPA,dan wakil dari Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang perlu guna menyempurnakan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut.
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Panitia kecuali memperhatikan hasil-hasil seminar Hukum Nasional ke-II di Semarang tersebut diatas, juga memperhatikan pendapat-pendapat para ahli hukum lainnya yang tergabung dalam organisasi profesi seperti Persatuan Advokad Indonesia (Peradin). Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja), Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), baik yang diajukan melalui Seminar maupun kegiatan lain seperti kongres, rapat kerja dan lain-lain.
            Perlu dikemukakan di sini, bahwa selama RUUHAP (draft I) berada di Sekretariat Kabinet setelah diserahkan oleh Depertemen Kehakiman, telah mengalami penyempurnaan sebanyak empat kali. Sehingga konsep terakhir dari Pemerintah yang siap diajukan ke DPR itu merupakan draft yang ke-V, sebagai hasil kesepakatan yang di capai, terutama antara Polri dan Kejaksaan.
            Dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. R. 08/PU/IX/1979, maka disampakanlah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana kepada DPR-RI untuk dibicarakan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia guna mendapatkan persetujuaannya.
            Perlu dikemukakan disini, bahwa rancangan tersebut agak lain dengan rancangan yang disusun pada masa Menteri Kehakiman di jabat oleh Prof. Oemr Seno Adji tahun 1973 di atas.
            Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam membicarakan tingkat I, Menteri Kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah tentang Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam suatu sidang paripurna DPR-RI.
            Pada tanggal 8 Noivember 1979, yaitu pembicaraan tinggkat II Fraksi-fraksi dalam DPR-RI memberikan pemandangan umum terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut, yang kemudian pada tanggal 29 November 1979 dilanjtutkan dengan jawaban darp pemerintah.
            Pembicaraan tingkat III, dilakukan dalam sidang komisi. Diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR-RI, bahwa pembicaraan tingkat III Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini dilakukan oleh Gabungan Komisi III (Bidang Hukum) dan Komisi I (Bidang Politik dan Hankam) serta Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Kehakiman dibantu oleh staf yang terdiri dari unsure-unsur Kehakiman, Kejaksaaan Agung, dan Polri.
            Sidang Gabungan Komisi (SIGAP) III dan I DPR-RI serta pemerintah mulai membicarakan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut pada tanggal 24 November 1979 sampai dengan tanggal 22 Mei 1980 di gedung DPR-RI Senayan, Jakarta. Pembicaraan dalam jangka waktu tersebut pada pembahasan materi secara umum yang menghasilkan putusan penting yang terkenal dengan nama “13 kesepaknma pendapat”, yang mengandung materi pokok yang akan dituangkan dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 13 putusan tersebuat adalah sebagai berikut:
1.      RUU-HAP dalam pembahasan pada tingkat III ini terbuka untuk disempurnaan;
2.      Perpanjangan waktu dapat disetujui sebagai akibat dari perkembangan serta didasarkan atas kebutuhan yang nyata diperlukan dalam pembahasan tingkat III.
3.      Konsiderans setuju untuk disempurnaan, sehingga dapat serta mampu mencerminkan landasan-landasa motivasi RUU-HAP yang bersifat idieal, struktural dan operasional. Oleh karena itu Pancasila, UUD’45 dan GBHN (TAP IV/MPR/1978) harus dimaksukkan dalam konsiderans dan bila diperlukan juga Pelita III. Trilogi Pembangunan, Sapta Krida. Delapan Jalur Pemerataan ( khususnnya jalur ke-8) dimaksukkan juga dalam Penjelasan Umum. Ditambahkan di sini bahwa Undang-Undang No. 15 tahun 1961 tidakj di cantumkan dalam konsidens dan dipindah/dicantumkan dalam penjelasan umum.
4.      RUU-HAP dimaksudkan untuk melahirkan suatu Undang-Undang yang bersifat nasional dan oleh karena itu ia merupakan unifikasi serta kodefikasi dalam bidang hukum acara pidana yang bersifat umum. 
Walaupun demikian, tidak dapat di pungkiri bahwa disamping yang umum, tentu terdapat hal-hal yang bersifat khusus, juga dalam bidang hukum acara pidana ini, maka oleh karena itu yang bersifat khusus itu tentu tunduk pada acara khusus yang ditetapkan untuk itu dalam berbagai undang-undang. Diluar yang khusus itu, semuannya tunduk pada Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan lahir ini;
5.      Adanya ketentuan umum dalam RUU-HAP sangat di perlukan dan harus ada demi kejelasan arti serta makna dari istilah-istilah tertentu yang terdapat dalam pasal-pasalnnya, meskipun dalam tingkat pembahasan sekarang ini masih tetap terbuka untuk penyempurnaan;
6.      Yang dimaksud denagn hak asasi, yang merupakan slah satu landasan pokok serta yang menjiwai RUU-HAP ini, termaksuk kedudukan dan hak-hak tersangka, terdakwa dan lain-lain sebagainnya yang perlu diperhatikan adalah asas-asas sebagai berikut;  
a)      Preduga tak bersalah (presumption of in no cence)
b)      Peradilan yang merdeka, terbuka, bebas, jujur dan tidak memihak (fair tria), disamping cepat, sederhana dan biaya ringan;
c)      Persamaan dimuka umum (equality before the low), dan
d)     Hak pemberian bantuan hukum/ bantuan hukum (legal sid/assistance);
7.      Bantuan/nasihat hukum diberikan kepada tersangka, terdakwa oleh seorang penasehat huku (pembela) selama berjalannya proses pidana menurut aturan serta tatacara yang ditentukan itu. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini, bahwa selama berlangsunnya pemeriksaan pada tingkat penyidik dan/atau penuntut, seorang tersangka/terdakwa dapat di dampingi seorang pembela, tetapi dengan ketentuan bahwa pembela itu bersifat pasif (within singht and within hearing);
8.      Pengawasan atas jalannya proses pidana agar dapat berjalan dengan sebaik-baiknnya dilaksanakan dnegan cara mengintensifkan:
a)      Built in control ( suatu pengawasan secara struktural procedural dari tiap tingkatan pelaksana proses pidana, yang dinamakan pengawasan vertical);
b)      Pengawasan horizontal ( suatu pengawasan antar tiap tingkat pelaksana dalam proses pidana);
Bila (a) dan (b) diangap kurang cukup, maka sebelum perkaranya diajukan ke sidang pengadilan dapat diadakan intitusi baru semacam habeas corpus atau prae-trial.
9.      Surat dakwaan (yang disusun dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh siapa pun, khususnya bagi terdakwa) dan berkas perkara diberikan untuk dibaca kepada penasehat hukum/pembela dalam waktu yang cukup untuk mempelajarinya .
10.  Surat keputusan pengadilan sewaktu putusan dijatuhkan/diumumkan harus sudah merupakan surat yang resmi final(net), sehingga segera setelah itu secepannya dapat diberikan dsalinannya, bilamana perlu dapat berupa foto kopi yang di outentikasikan ;
11.  “kewajinban mundur bagi hakim”, dalam hubungan darah denagn terdakwa dan sebab lain yang wajar berlaku dalam semua tingkat badan peradilan umum;
12.  Tentang ganti rugi atau rehabilitasi yang perkarannya menurut hukum tidak sampai kepengadilan, dapat diajukan ganti rugi menurut prosedur yang akan dirumuskan, dan tentang bentuk rehabilitasi bila hal ini terjadi, kirannya dapat di temukan suatu “bentuk” yang memadai, yang”bentuk” berkekuatan sama dengan rehabilitasi yang diberikan oleh pengadialan;
13.  Kasasi untuk perkara-perkara militer adalah Undang-Undang No.14 Tahun 1970 dan juga telah dirumuskan dalam RUU-HAP ini;
Untuk membicarakan dan merumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana lebih lanjut, di bentuk Tim Sinkronisasi yang diberikan mandate penuh oleh SIGAB Komisi III dan I DPR-RI.
     Tim Sinkronisasi bersama wakil dari pemerintah mulai melakukan rapat pada tanggal 25 Mei 1980 untuk membicarakan dan meeumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Rapat-rapat dilakukan secara marathon dan tidak hanya dilakukan di gedung DPR RI, Senayan Jakarta, tetapi juga di luar gedung DPR RI, yaitu Megamendung, Bogor, dan di Jalan Aditya Warman 8, Kebayoran Jakrata.
     Setelah melakukan tugasnya kurang lebih selama 2 tahun, Tim Sinkronisasi berhasil menyelesaikan tugasnnya dan pada tanggal 9 September 1981, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut di setujui oleh SIGAB Komisi III dan I DPR RI.
     Perlu dikemukakan disini bahwa, dalam membahas Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut Tim Sinkronisasi bersama pemerintah mengalami hambatan-hambatan dalam membahas Bab Ketentuan Peralihan dan Pasal 115, tentang hadirnnya penasehat hukum pada saat pemeriksaan pendahuluan. Namun hambatan-hambatan tersebuta dapat diatasi denagn melakukan lobbying dan sarahsehan antara Pimpinan Dewan, Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Gabungan Komisi.
     Dalam menyelesaikan penyusunan rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah pula diminta sumbangan pendapat dari ahli bahasa.
     Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah penyampaian pendapat akhir oleh semua Fraksi, dalam DPR RI dalam Sidang paripurna, maka Rancangan Undang-Undnag Acara Pidana di setujui DPR untuk disahkan sebagai Undang-Undang.
     Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut telah di setujui oleh DPR untuk disahkan oleh President menjadi Undang-Undang. Presiden pada tanggal 31 Desember 1981 telah mengesahkan, RUU tersebut menjadi Undang-Undang No.8 Tahun 1981(L.N.RI.NO.76;TLN No.3209). tertanggal 31 Desember 1981.
     Adapun perbedaan yang fundamental antara KUHAP dengan HIR adalah mengenai perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Hal ini Nampak dengan diaturnya dalam KUHAP ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Hak-hak tersangak atau terdakwa
2.      Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan
3.      Dasar hukum untuk penagkapan dan penahahanan dan pembatasan jangka waktunnya
4.      Ganti kerugian dan rehabilitasi
5.      Pengabungan perkara pada perkara pidana dalam hal ganti rugi;
6.      Upaya-upaya hukum
7.      Koneksitas
8.      Pengawasan pelaksanaan, putusan pengadilan.
Ruang lingkup kegiatan hukum acara pidana. Dapat kita katakana bahwa pada hakekatnnya ruang lingkup kegiatan hukum acara pidana itu meliputu hal-hal yang disebutkan dibawah ini:
1.      Pendinyidikan perkara pidana.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkannya, seperti misalnya pencurian, penipuan , penggelapan, penganiayaan dan sebagainnya, yang telah terjadi atau dilaporkan, dari mulai masih gelap sehingga menjadi terang, terang dalam arti, bahwa unsur-unsur tindak pidana untuk menuntut peristiwa itu dimuka hakim menjadi lengkap dan siapakah tersangkannya.
Penyidikan adalah tugas penyidik. Adapun penyidik itu dijabat oleh kepolisian.
2.      Penuntutan perkara pidana.
Menununtut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menutut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya di periksa dan putus oleh hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan perkara pidana adalah tugas yang dilakukan oleh kejaksaan. Dengan melakukan penuntutan oerkara maka jaksa seakan-akan mengakhiri penyidikan  dan menyerahkan pemeriksaan serta keputusannya kepada hakim.
3.      Peradilan perkara pidana.
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana berdasarkan azas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana, yaitu memeriksa dan dengan bukti-bukti yang cukup menentukan:
a)      Betulkah peristiwa yang telah terjadi dan di tuduhkan kepada tedakwa itu merupakan suatu peristiwa pidana?.
b)      Betulkah terdakwa cukup terbukti kesalahannya telah melakukan peristiwa pidana itu? Dan
c)      Apabila betul, kemudian menjatuhkan pidana yang setimpal kepada terdakwannya atas kesalahannya itu.
Menjalankan perkara pidana adalah tugas dari pengadilan.
4.      Pelaksanaan keputusan hakim.
Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar suya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dilaksanakan, misalnnya pabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya terdakwa segera di keluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda agar supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam rumah Lembaga Permasyarakatan dan sebagainnya.
Pelaksanaan keputusan pengadilan yang biasa disebut pula eksekusi itu adalah tugas dari kejaksaan.

DAFTAR PUSTAKA
Pettanaasse,Syarifuddin; Hukum Acara Pidana,Bandung;Angkasa, 2010.
Soesilo, R;Hukum Acara Pidana, Bogor; Politeia

Senin, 01 April 2013

KONSTITUSI YANG PERNAH DIGUNAKAN DI INDONESIA




Peta Konsep UUD 1945 (1945 -1949) Konstitusi RIS (1949 -1950) UUDS 1950 (1950 -1959) UUD 1945 (1959 - 1999) Konstitusiyang pernah digunakan di Indonesia Penyimpangan UUD 1945 Hasil Amandemen (1999 sekarang)Sikap positif terhadap pelaksanaan UUD 1945 Hasil Amandemen.
Kata Kunci : Konstitusi/UUD, UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, Amandemen, Bentuk Negara, Bentuk Pemerintahan, Sistem Pemerintahan, dan Penyimpangan terhadap UUD. Dalam bab ini kalian akan mempelajari konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia. Setelah pembelajaran ini kalian diharapkan mampu untuk: menjelaskan berbagai konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia; menganalisis penyimpanganpenyimpangan terhadap konstitusi yang berlaku di Indonesia; menunjukkan hasil-hasil amandemen UUD 1945; dan menampilkan sikap positif terhadap pelaksanaan UUD1945 hasil amandemen.

A. KONSTITUSI-KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA
Sebelum membahas tentang konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, perlu kalian ketahui terlebih dahulu pengertian, fungsi, dan kedudukan konstitusi. Pemahaman terhadap hal ini sangat perlu mengingat pentingnya konstitusi dalam mengatur kehidupan bernegara.
Apakah konstitusi itu? Cobalah kalian lihat dalam kamus Bahasa Inggris-Indonesia. Konstitusi(cons titution) diartikan dengan undang-undang dasar. Benarkah pengertian konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar (UUD)? Memang, tidak sedikit para ahli yang mengidentikkan konstitusi dengan UUD. Namun beberapa ahli yang lain mengatakan bahwa arti konstitusi yang lebih tepat adalah hukum dasar.
Menurut Kusnardi dan Ibrahim (1983), UUD merupakan konstitusi yang tertulis. Selain konstitusi yang tertulis, terdapat pula konstitusi yang tidak tertulis atau disebut konvensi. Konvensi adalah kebiasaan-kebiasaan yang timbul dan terpelihara dalam praktik ketatanegaraan. Meskipun tidak tertulis, konvensi mempunyai kekuatan hukum yang kuat dalam ketatanegaraan. Dalam uraian bab ini, konstitusi yang dimaksudkan adalah konstitusi yang tertulis atau Undang-Undang Dasar. Suasana Sidang MPR yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD.
Konstitusi atau Undang-Undang Dasar berisi ketentuan yang mengatur hal-hal yang mendasar dalam bernegara. Hal-hal yang mendasar itu misalnya tentang batas-batas kekuasaan penyelenggara pemerintahan negara, hak-hak dan kewajiban warga negara dan lain-lain. Menurut Sri Soemantri (1987), suatu konstitusi biasanya memuat atau mengatur hal-hal pokok sebagai berikut.
1. jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga Negara
2. susunan ketatanegaraan suatu Negara
3. pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan

Konstitusi menjadi pegangan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Dengan kata lain, penyelenggaraan negara harus didasarkan pada konstitusi dan tidak bertentangan dengan konstitusi negara itu. Dengan adanya pembatasan kekuasaan yang diatur dalam konstitusi, maka pemerintah tidak boleh menggunakan kekuasaannya secara sewenang- wenang. Sebagai aturan dasar dalam negara, maka Undang - Undang Dasar mempunyai kedudukan tertinggi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Artinya semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia kedudukannyadi bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yakni UUD 1945. Peraturan perundang-undangan tersebut adalah Undang- Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Hal ini dapat lebih kalian dalami dalam pembahasan bab berikutnya.
Sejak tanggal 18 Agustus 1945 hingga sekarang (tahun 2008), di negara Indonesia pernah menggunakan tiga macam UUD yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950. Dilihat dari periodesasi berlakunya ketiga UUD tersebut, dapat diuraikan menjadi lima periode yaitu:

a) 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 berlaku UUD 1945,
b) 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 berlaku Konstitusi RIS 1949,
c) 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 berlaku UUD Sementara 1950,
d) 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999 berlaku kembali UUD 1945
e) 19 Oktober 1999 – sekarang berlaku UUD 1945 (hasil perubahan).


    1. UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
Pada saat Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, negara Republik Indonesia belum memiliki konstitusi atau UUD. Namun sehari kemudian, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidang pertama yang salah satu keputusannya adalah mengesahkan UUD yang kemudian disebut UUD 1945. Mengapa UUD 1945 tidak ditetapkan oleh MPR sebagaimana diatur dalam pasal 3 UUD 1945? Sebab, pada saat itu MPR belum terbentuk. Naskah UUD yang disahkan oleh PPKI tersebut disertai penjelasannya dimuat dalam Berita Republik Indonesia No. 7 tahun II 1946. UUD 1945 tersebut terdiri atas tiga bagian yaitu Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan.
Perlu dikemukakan bahwa Batang Tubuh terdiri atas 16 bab yang terbagi menjadi 37 pasal, serta 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan. Bagaimana sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 saat itu? Ada beberapa hal yang perlu kalian ketahui, antara lain tentang bentuk negara, kedaulatan, dan system pemerintahan. Mengenai bentuk negara diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik”. Sebagai Negara UUD Negara RI UUD Sementara 1950 UUD 1945
Urutan periode pelaksanaan UUD di Indonesiakesatuan, maka di negara Republik Indonesia hanya ada satu kekuasaan pemerintahan negara, yakni di tangan pemerintah pusat. Di sini tidak ada pemerintah negara bagian sebagaimana yang berlaku di negara yang berbentuk negara serikat (federasi). Sebagai negara yang berbentuk republik, maka kepala negara dijabat oleh Presiden. Presiden diangkat melalui suatu pemilihan, bukan berdasar keturunan.
Mengenai kedaulatan diatur dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusywaratan Rakyat”. Atas dasar itu, maka kedudukan Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR) adalah sebagai lembaga tertinggi negara. Kedudukan lembaga-lembaga tinggi Negara yang lain berada di bawah MPR.
Mengenai sistem pemerintahan negara diatur dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang- Undang Dasar”. Pasal tesebut menunjukkan bahwa system pemerintahan menganut sistem presidensial. Dalam system ini, Presiden selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Menteri-menteri sebagai pelaksana tugas pemerintahan adalah pembantu Presiden yang bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Perlu kalian ketahui, lembaga tertinggi dan lembaga lembaga tinggi negara menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) adalah :
a. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
b. Presiden
c. Dewan Pertimbanagan Agung (DPA)
d. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
f. Mahkamah Agung (MA)

    2. Periode berlakunya Konstitusi RIS 1949
Perjalanan negara baru Republik Indonesia tidak luput dari rongrongan pihak Belanda yang menginginkan menjajah kembali Indonesia. Belanda berusaha memecahbelah bangsa Indonesia dengan cara membentuk negaranegara ”boneka” seperti Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, dan Negara Jawa Timur di dalam negara RepubIik Indonesia. Bahkan, Belanda kemudia melakukan agresi atau pendudukan terhadap ibu kota Jakarta, yang dikenal dengan Agresi Militer I pada tahun 1947 dan Agresi Militer II atas kota Yogyakarta pada tahun 1948. Untuk menyelesaikan pertikaian Belanda dengan RepubIik Indonesia, Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) turun tangan dengan menyelenggarakan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag (Belanda) tanggal 23 Agustus – 2 November 1949. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari RepubIik Indonesia, BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg, yaitu gabungan negara-negara boneka yang dibentuk Belanda), dan Belanda serta sebuah komisi PBB untuk Indonesia.
KMB tersebut menghasilkan tiga buah persetujuan pokok yaitu:
1. Didirikannya Negara Rebublik Indonesia Serikat;
2. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat; dan
3. Didirikan uni antara RIS dengan Kerajaan Belanda.
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara serikat mengharuskan adanya penggantian UUD. Oleh karena itu, disusunlah naskah UUD Republik Indonesia Serikat. Rancangan UUD tersebut dibuat oleh delegasi RI dan delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar.
Setelah kedua belah pihak menyetujui rancangan tersebut, maka mulai 27 Desember 1949 diberlakukan suatu UUD yang diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Konstitusi tersebut terdiri atas Mukadimah yang berisi 4 alinea, Batang Tubuh yang berisi 6 bab dan 197 pasal, serta sebuah lampiran. Mengenai bentuk negara dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) Konstitusi RIS yang berbunyi “ Republik Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat adalah negara hokum yang demokratis dan berbentuk federasi”. Dengan berubah menjadi negara serikat (federasi), maka di dalam RIS terdapat beberapa negara bagian. Masing-masing memiliki kekuasaan pemerintahan di wilayah negara bagiannya.
Negara-negara bagian itu adalah : negara Republik Indonesia, Indonesia Timur, Pasundan, Jawa timur, Madura, Sumatera Timur, dan Sumatera Selatan. Selain itu terdapat pula satuan-satuan kenegaraan yang berdiri sendiri, yaitu : Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur.
Selama berlakunya Konstitusi RIS 1949, UUD 1945 tetap berlaku tetapi hanya untuk negara bagian Republik Indonesia. Wilayah negara bagian itu meliputi Jawa dan Sumatera dengan ibu kota di Yogyakarta. Sistem pemerintahan yang digunakan pada masa berlakunya Konstitusi RIS adalah sistem parlementer.
Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 118 ayat 1 dan 2 Konstitusi RIS. Pada ayat (1) ditegaskan bahwa ”Presiden tidak dapat diganggu-gugat”. Artinya, Presiden tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas tugas-tugas pemerintahan. Sebab, Presiden adalah kepala negara, tetapi bukan kepala pemerintahan. Kalau demikian, siapakah yang menjalankan dan yang bertanggung jawab atas tugas pemerintahan? Pada Pasal 118 ayat (2) ditegaskan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing- masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”.
Dengan demikian, yang melaksanakan dan mempertanggungjawabkan tugas-tugas pemerintahan  adalah menterimenteri. Dalam sistem ini, kepala pemerintahan dijabat oleh Perdana Menteri. Lalu, kepada siapakah pemerintah bertanggung jawab? Dalam sistem pemerintahan parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).
Lembaga-lembaga Negara menurut Konstitusi RIS adalah :
a. Presiden
b. Menteri-Menteri
c. Senat
d. Dewan Perwakilan Rakyat
e. Mahkamah Agung
f. Dewan Pengawas Keuangan

    3. Periode Berlakunya UUDS 1950
Pada awal Mei 1950 terjadi penggabungan negaranegara bagian dalam negara RIS, sehingga hanya tinggal tiga negara bagian yaitu negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur.
Perkembangan berikutnya adalah munculnya kesepakatan antara RIS yang mewakili Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur dengan Republik Indonesia untuk kembali ke bentuk negara kesatuan. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam Piagam Persetujuan tanggal 19 Mei 1950. Untuk mengubah negara serikat menjadi negara kesatuan diperlukan suatu UUD Negara kesatuan. UUD tersebut akan diperoleh dengan cara memasukan isi UUD 1945 ditambah bagian-bagian yang baik dari Konstitusi RIS.
Pada tanggal 15 Agustus 1950 ditetapkanlah Undang-Undang Federal No.7 tahun 1950 tentang Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950. Dengan demikian, sejak tanggal tersebut Konstitusi RIS 1949 diganti dengan UUDS 1950, dan terbentuklah kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 terdiri atas Mukadimah dan Batang Tubuh, yang meliputi 6 bab dan 146 pasal. Mengenai dianutnya bentuk negara kesatuan dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 yang berbunyi “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Sistem pemerintahan yang dianut pada masa berlakunya UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer. Dalam pasal 83 ayat (1) UUDS 1950 ditegaskan bahwa ”Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu-gugat”. Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa ”Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing- masing untuk bagiannya sendiri-sendiri”. Hal ini berarti yang bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintahan adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR.
Lembaga-lembaga Negara menurut UUDS 1950 adalah :
a) Presiden dan Wakil Presiden
b) Menteri-Menteri
c) Dewan Perwakilan Rakyat
d) Mahkamah Agung
e) Dewan Pengawas Keuangan
Sesuai dengan namanya, UUDS 1950 bersifat sementara. Sifat kesementaraan ini nampak dalam rumusan pasal 134 yang menyatakan bahwa ”Konstituante (Lembaga Pembuat UUD) bersama-sama dengan pemerintah selekaslekasnya menetapkan UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”. Anggota Konstituante dipilih melalui pemilihan umum bulan Desember 1955 dan diresmikan tanggal 10 November 1956 di Bandung.
Sekalipun konstituante telah bekerja kurang lebih selama dua setengah tahun, namun lembaga ini masih belum berhasil menyelesaikan sebuah UUD. Faktor penyebab ketidakberhasilan tersebut adalah adanya pertentangan pendapat di antara partai-partai politik di badan konstituante dan juga di DPR serta di badan-badan pemerintahan.
Pada pada tanggal 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan amanat yang berisi anjuran untuk kembali ke UUD 1945. Pada dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituante tetapi dengan pandangan yang berbeda-beda.
Oleh karena tidak memperoleh kata sepakat, maka diadakan pemungutan suara. Sekalipun sudah diadakan tiga kali pemungutan suara, ternyata jumlah suara yang mendukung anjuran Presiden tersebut belum memenuhi persyaratan yaitu 2/3 suara dari jumlah anggota yang hadir.
Atas dasar hal tersebut, demi untuk menyelamatkan bangsa dan negara, pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah Dekrit Presiden yang isinya adalah:
1. Menetapkan pembubaran Konsituante
2. Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
3. Pembentukan MPRS dan DPAS Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka UUD 1945 berlaku kembali sebagai landasan konstitusional dalam menyelenggarakan pemerintahan Republik Indonesia.

4. UUD 1945 Periode 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999
Praktik penyelenggaraan negara pada masa berlakunya UUD 1945 sejak 5 Juli 1959- 19 Oktober 1999 ternyata mengalami berbagai pergeseran bahkan terjadinya beberapa penyimpangan. Oleh karena itu, pelaksanaan UUD 1945 selama kurun waktu tersebut dapat dipilah menjadi dua periode yaitu periode Orde Lama (1959-1966), dan periode Orde Baru (1966-1999).
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintahan sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang justru bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Artinya, pelaksanaan UUD 1945 pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang Presiden dan lemahnya kontrol yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden.
Selain itu muncul pertentangan politik dan kon- flik lainnya yang berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanan, dan kehidupan ekonomi semakin memburuk. Puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan G-30-S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan negara.
Mengingat keadaan semakin membahayakan, Ir. Soekarno selaku Presiden RI memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi terjaminnya keamanan, ketertiban, dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde Baru.
Semboyan Orde Baru pada masa itu adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Apakah tekad tersebut menjadi suatu kenyataan? Ternyata tidak. Dilihat dari prinsip demokrasi, prinsip negara hukum, dan keadilan sosial ternyata masih terdapat banyak hal yang jauh dari harapan. Hampir sama dengan pada masa Orde Lama, sangat dominannya kekuasaan Presiden dan lemahnya control DPR terhadap kebijakan-kebijakan Presiden/pemerintah. Selain itu, kelemahan tersebut terletak pada UUD 1945 itu sendiri, yang sifatnya singkat danluwes (fleksibel), sehingga memungkinkan munculnya berbagai penyimpangan. Tuntutan untuk merubah atau menyempurnakan UUD 1945 tidak memperoleh tanggapan, bahkan pemerintahan Orde Baru bertekat untuk mempertahankan dan tidak merubah UUD 1945.

    5. UUD 1945 Periode 19 Oktober 1999 – Sekarang
Seiring dengan tuntutan reformasi dan setelah lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, maka sejak tahun 1999 dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Sampai saat ini, UUD 1945 sudah mengalami empat tahap perubahan, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. Penyebutan UUD setelah perubahan menjadi lebih lengkap, yaitu : Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Melalui empat tahap perubahan tersebut, UUD 1945 telah mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan itu menyangkut kelembagaan negara, pemilihan umum, pembatasan kekuasaan Presiden dan Wakil Presiden, memperkuat kedudukan DPR, pemerintahan daerah, dan ketentuan yang terinci tentang hak-hak asasi manusia.
Setelah perubahan UUD 1945, ada beberapa praktik ketatanegaraan yang melibatkan rakyat secara langsung. Misalnya dalam hal pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Hal-hal tersebut tentu lebih mempertegas prinsip kedaulatan rakyat yang dianut negara kita.
Setelah melalui serangkaian perubahan (amandemen), terdapat lembaga-lembaga negara baru yang dibentuk dan juga terdapat lembaga negara yang dihapus, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 sesudah amandemen adalah : UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sumber: Setjen MPR
a) Presiden
b) Majelis Permusyawaratan Rakyat
c) Dewan Perwakilan Rakyat
d) Dewan Perwakilan Daerah
e) Badan Pemeriksa Keuangan
f) Mahkamah Agung
g) Mahkamah Konstitusi
h) Komisi Yudisial



B. PENYIMPANGAN-PENYIMPANGAN TERHADAP KONSTITUSI
Dalam praktik ketatanegaraan kita sejak 1945 tidak jarang terjadi penyimpangan terhadap konstitusi (UUD). Marilah kita bahas berbagai peyimpangan terhadap konstitusi, yang kita fokuskan pada konstitusi yang kini berlaku, yakni UUD 1945.
1. Penyimpangan terhadap UUD 1945 masa awal kemerdekaan, antara lain
Keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X (baca: eks) tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah fungsi KNIP dari pembantu menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut serta menetapkan GBHN sebelum terbentuknya MPR, DPR, dan DPA. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 pasal 4 aturan peralihan yang berbunyi ”Sebelum MPR, DPR, dan DPA terbentuk, segala kekuasaan dilaksanakan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.
Keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang merubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem pemerintahan parlementer. Hal ini bertentangan dengan pasal 4 ayat (1) dan pasal 17 UUD 1945.

2. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Lama, antara lain:
a. Presiden telah mengeluarkan produk peraturan dalam bentuk Penetapan Presiden, yang hal itu tidak dikenal dalam UUD 1945.
b. MPRS, dengan Ketetapan No. I/MPRS/1960 telah menetapkan Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita (Manifesto Politik Republik Indonesia) sebagai GBHN yang bersifat tetap.
c. Pimpinan lembaga-lembaga negara diberi kedudukan sebagai menteri-menteri negara, yang berarti menempatkannya sejajar dengan pembantu Presiden.
d. Hak budget tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 pemerintah tidak mengajukan RUU APBN untuk mendapat persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan;
e. Pada tanggal 5 Maret 1960, melalui Penetapan Presiden No.3 tahun 1960, Presiden membubarkan anggota DPR hasil pemilihan umum 1955. Kemudian melalui Penetapan Presiden No.4 tahun 1960 tanggal 24 Juni 1960 dibentuklah DPR Gotong Royong (DPR-GR);
f. MPRS mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup melalui Ketetapan Nomor III/MPRS/1963.
3. Penyimpangan terhadap UUD 1945 pada masa Orde Baru
a. MPR berketetapan tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahanterhadap UUD 1945 serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen (Pasal 104 Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 tentang Tata Tertib MPR). Hal ini bertentangan dengan Pasal 3 UUD 1945 yang memberikankewenangan kepada MPR untuk menetapkan UUD dan GBHN, serta Pasal 37 yang memberikan kewenangan kepada MPR untuk mengubah UUD 1945.
b. MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum yang mengatur tata cara perubahan UUD yang tidak sesuai dengan pasal 37 UUD 1945
Setelah perubahan UUD 1945 yang keempat (terakhir) berjalan kurang lebih 6 tahun, pelaksanaan UUD 1945 belum banyak dipersoalkan. Lebih-lebih mengingat agenda reformasi itu sendiri antara lain adalah perubahan (amandemen) UUD 1945. Namun demikian, terdapat ketentuan UUD 1945 hasil perubahan (amandemen) yang belum dapat dipenuhi oleh pemerintah, yaitu anggaran pendidikan dalam APBN yang belum mencapai 20%. Hal itu ada yang menganggap bertentangan dengan Pasal 31ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD Tahun 1945 dapat disederhanakan dalam bagan di bawah ini. Penyimpanganterhadap UUD Tahun 1945 Masa Setelah Perubahan Masa Orde Baru:
(1)  Masa Orde Lama Masa awal Kemerdekaan dalam bentuk Penetapan Presiden
(2)  Pidato Presiden sebagai GBHN
(3)  Pimpinan lembaga Negara sebagai menteri
(4)  Hak budget tidak berjalan
(5)  Pembubaran DPR oleh Presiden
(6)  Pengangkatan Presiden Seumur Hidup
a) MPR tidak berkehendak merubah UUD 1945
b) Mengeluarkan Tap MPR tentang referendum Anggaran pendidikan dalam APBN belum sesuai dengan Pasal 31 UUD 1945
c)  KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN Menerapkan sistem parlementer


C. HASIL-HASIL PERUBAHAN UUD 1945
Perubahan Undang-Undang Dasar atau sering pula digunakan istilah amandemen Undang-Undang Dasar merupakan salah satu agenda reformasi. Perubahan itu dapat berupa pencabutan, penambahan, dan perbaikan. Sebelum menguraikan hasil-hasil perubahan UUD 1945, kalian akan diajak untuk memahami dasar pemikiran perubahan, tujuan perubahan, dasar yuridis perubahan, dan beberapa kesepakatan dasar dalam perubahan UUD 1945. Oleh karena itu, perhatikan uraian di bawah ini dengan seksama.
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain :
a) UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar pada Presiden yang meliputi kekuasaan eksekutif dan legislatif, khususnya dalam membentuk undangundang.
b) UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlaluluwes (fleksibel) sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsir (multitafsir).
c) Kedudukan penjelasan UUD 1945 sering kali diperlakukan dan mempunyai kekuatan hukum seperti pasal-pasal (batang tubuh) UUD 1945.


Perubahan UUD 1945 memiliki beberapa tujuan,antara lain :
a. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional dan memperkukuh Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b.Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi;
c. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan HAM agar sesuai dengan perkembangan paham HAM dan peradaban umat manusia yang merupakan syarat bagi suatu negara hukum yang tercantum dalam UUD 1945.
d.Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan Negara secara demokratis dan modern.
e. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan ne-gara bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum;
f. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan jaman dan kebutuhan bangsa dan negara.
Dalam melakukan perubahan terhadap UUD 1945, terdapat beberapa kesepakatan dasar yang penting kalian pahami. Kesepakatan tersebut adalah :
1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
2. Tetap mempertahankan NKRI
3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial
Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normative akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh).
Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan secara bertahap karena mendahulukan pasal-pasal yang disepakati oleh semua fraksi di MPR, kemudian dilanjutkan dengan perubahan terhadap pasal-pasal yang lebih sulit memperoleh kesepakatan. Perubahan terhadap UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali melalui mekanisme siding MPR yaitu:
 a. Sidang Umum MPR 1999 tanggal 14-21 Oktober 1999
b. Sidang Tahunan MPR 2000 tanggal 7-18 Agustus 2000
c. Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 1-9 November 2001
d. Sidang Tahunan MPR 2002 tanggal 1-11 Agustus 2002.
Perubahan UUD Negara RI 1945 dimaksudkan untuk menyempurnakan UUD itu sendiri bukan untuk mengganti. Secara umum hasil perubahan yang dilakukan secara bertahap MPR adalah sebagai berikut:
Perubahan pertama terhadap UUD 1945 ditetapkan pada tgl. 19 Oktober 1999 dapat dikatakan sebagai tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat yang cenderung mensakralkan atau menjadikan UUD 1945 sebagai sesuatu yang suci yang tidak boleh disentuh oleh ide perubahan. Perubahan Pertama terhadap UUD 1945 meliputi 9 pasal, 16 ayat, yaitu :
Pasal yang Diubah Isi Perubahan
• 5 ayat 1                       : Hak Presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR
• Pasal 7                         : Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil     Presiden
• Pasal 9 ayat 1 dan 2     : Sumpah Presiden dan Wakil Presiden
• Pasal 13 ayat 2 dan 3: Pengangkatan dan Penempatan Duta
• Pasal 14 ayat 1            : Pemberian Grasi dan Rehabilitasi
• Pasal 14 ayat 2            : Pemberian amnesty dan abolisi
• Pasal 15                       : Pemberian gelar, tanda jasa dan kehormatan lain
• Pasal 17 ayat 2 dan 3: Pengangkatan Menteri
• Pasal 20 ayat 1 – 4      : DPR
• Pasal 21                       : Hak DPR untuk mengajukan RUU
Perubahan kedua ditetapkan pada tgl. 18 Agustus 2000, meliputi 27 pasal yang tersebar dalam 7 Bab, yaitu:
Bab yang Diubah Isi Perubahan
• Bab VI                        : Pemerintahan Daerah
• Bab VII                       : Dewan Perwakilan Daerah
• Bab IXA                      : Wilayah Negara
• Bab X                          : Warga Negara dan Penduduk
• Bab XA                       : Hak Asasi Manusia
• Bab XII                       :  Pertahanan dan Keamanan
• Bab XV                       : Bendera, Bahasa, Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan

Perubahan ketiga, ditetapkan pada tgl. 9 November 2001, meliputi 23 pasal yang tersebar 7 Bab, yaitu:
Bab yang Diubah Isi Perubahan
• Bab I               : Bentuk dan Kedaulatan
• Bab II              : MPR
• Bab III : Kekuasaan Pemerintahan Negara
• Bab V              : Kementerian Negara
• Bab VIIA        : Pemilihan Umum
• Bab VIIB         :  BPK
• Bab VIII

Perubahan Keempat, ditetapkan 10 Agustus 2002, meliputi 19 pasal yang terdiri atas 31 butir ketentuan serta
1. Butir yang dihapuskan. Dalam naskah perubahan keempat ini ditetapkan bahwa:
a.UUD 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan keempat adalah UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
b. Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat Paripurna MPR RI ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan MPR RI dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. c.Bab IV tentang “Dewan Pertimbangan Agung” dihapuskan dan pengubahan substansi pasal 16 serta penempatannya kedalam Bab III tentang “Kekuasaan PemerintahanNegara