Penyusunan rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dimulai pada tahun 1967 dengan dibentuknya panitia intern
departemen kehakiman. Tapi sebenarnya embrio
dalam rangka pembentukan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana sudah ada sejak tahun 1965. Waktu itu sudah ada Draft
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dibicarakan dalam forum DPRD.
Oleh pemerintah Draft ini dapat ditarik kembali karena belum dapat
dipertanggungjawabkan.
Berikutnya pada tahun 1968 diadakan
Seminar Hukum Nasional II di Semarang, tentang Hukum Acara Pidana dan Hak-Hak
Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
(LPHN). Ditahun 1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman dengan memperhatikan
kesimpulan Seminar Hukum Nasional tersebut menghasilkan naskah Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang kemudian dibahas bersama oleh suatu tim
antardepartemen, yakni Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan
Departemen Kehakiman, yang dipimpin oleh Menteri Kehakiman Prov.Oemar Seno
Adji.
Pembahasan oleh tim antar Departemen
ini untuk beberapa materi mengalami jalan buntu, sehingga sulit dipertemukan.
Adapun materi yang dimaksud adalah
tentang:
1. Penyidikan
dan penyidikan lanjutan;
2. Koordinasi, pengawasan dan
pemberian petunjuk oleh jaksa kepada Penyidik;
3. Rechter
Commissaris/Hakim Pengawas dan
4. Pemberian bantuan
hukum;
Untuk
memecahkan perbedaan pendapat-pendapat tersebut diatas, maka atas prakarsa
Menteri Kehakiman diadakan pertemuan tiga pimpinan tertinggi instansi penegak
hukum, yaitu Menteri Kehakiman Prof.Oemar Seno Adji, Jaksa Agung Ali Said,S.H,
dan Kapolri Jenderal Pol.Drs.Moch.Hasan,S.H, yang dikoordinasikan oleh
Men.Hankam/Pangab yang pada waktu itu diwakili oleh Kaskopkamtib Laksamana Sudomo.
Sementara
pembahasan dan penyusunan Rencana Undang-Undang yang disepakati bersama belum
selesai, pada tahun 1974 terjadi pergantian Menteri Kehakiman dari Prof.Oemar
Seno Adji kepada Prof.Dr.Mochtar Koesoemaatdja. Pada waktu Prof.Dr.Mochtar
Koesoemaatdja menjadi Menteri Kehakiman itu, penyempurnaan rancangan tersebut
diteruskan. Pada tahun 1974 rancangan itu dilimpahkan pada Sekretariat Kabinet
oleh Menteri Kehakiman.
Setelah oleh Sekretariat Kabinet diminta
lagi pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri
dan Departemen Kehakiman, maka naskah rancangan Undang-Undang Hukum Acara
Pidana tersebut dibahas kembali dalam rapat koordinasi antara wakil-wakil dari
keempat instansi tersebut.
Setelah Moedjono,S.H menjadi Menteri Kehakiman,
nampaknya kegiatan dalam penyusunan tersebut diintensifkan dan pada tahun 1979
diadakan pertemuan antara Menteri Kehakiman Moedjono,S.H, Jaksa Agung Ali
Said,S.H, Kapolri Jenderal Pol.Dr.Awaluddin,MPA,dan wakil dari Mahkamah Agung
untuk membahas beberapa hal yang perlu guna menyempurnakan Rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut.
Dalam
penyusunan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Panitia kecuali
memperhatikan hasil-hasil seminar Hukum Nasional ke-II di Semarang tersebut
diatas, juga memperhatikan pendapat-pendapat para ahli hukum lainnya yang
tergabung dalam organisasi profesi seperti Persatuan Advokad Indonesia
(Peradin). Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja),
Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), baik yang diajukan melalui Seminar
maupun kegiatan lain seperti kongres, rapat kerja dan lain-lain.
Perlu dikemukakan di sini, bahwa
selama RUUHAP (draft I) berada di Sekretariat
Kabinet setelah diserahkan oleh Depertemen Kehakiman, telah mengalami
penyempurnaan sebanyak empat kali. Sehingga konsep terakhir dari Pemerintah
yang siap diajukan ke DPR itu merupakan draft yang ke-V, sebagai hasil
kesepakatan yang di capai, terutama antara Polri dan Kejaksaan.
Dengan amanat Presiden tanggal 12
September 1979 No. R. 08/PU/IX/1979, maka disampakanlah Rancangan Undang-Undang
Hukum Acara Pidana kepada DPR-RI untuk dibicarakan dalam sidang Dewan
Perwakilan Rakyat Indonesia guna mendapatkan persetujuaannya.
Perlu dikemukakan disini, bahwa
rancangan tersebut agak lain dengan rancangan yang disusun pada masa Menteri
Kehakiman di jabat oleh Prof. Oemr Seno Adji tahun 1973 di atas.
Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam
membicarakan tingkat I, Menteri Kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah
tentang Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam suatu sidang paripurna
DPR-RI.
Pada tanggal 8 Noivember 1979, yaitu
pembicaraan tinggkat II Fraksi-fraksi dalam DPR-RI memberikan pemandangan umum
terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut, yang kemudian
pada tanggal 29 November 1979 dilanjtutkan dengan jawaban darp pemerintah.
Pembicaraan tingkat III, dilakukan
dalam sidang komisi. Diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR-RI, bahwa pembicaraan
tingkat III Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini dilakukan oleh
Gabungan Komisi III (Bidang Hukum) dan Komisi I (Bidang Politik dan Hankam)
serta Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Kehakiman dibantu
oleh staf yang terdiri dari unsure-unsur Kehakiman, Kejaksaaan Agung, dan
Polri.
Sidang Gabungan Komisi (SIGAP) III
dan I DPR-RI serta pemerintah mulai membicarakan Rancangan Undang-Undang Hukum
Acara Pidana tersebut pada tanggal 24 November 1979 sampai dengan tanggal 22
Mei 1980 di gedung DPR-RI Senayan, Jakarta. Pembicaraan dalam jangka waktu
tersebut pada pembahasan materi secara umum yang menghasilkan putusan penting
yang terkenal dengan nama “13 kesepaknma pendapat”, yang mengandung materi
pokok yang akan dituangkan dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. 13 putusan tersebuat adalah sebagai berikut:
1. RUU-HAP
dalam pembahasan pada tingkat III ini terbuka untuk disempurnaan;
2. Perpanjangan
waktu dapat disetujui sebagai akibat dari perkembangan serta didasarkan atas
kebutuhan yang nyata diperlukan dalam pembahasan tingkat III.
3. Konsiderans
setuju untuk disempurnaan, sehingga dapat serta mampu mencerminkan
landasan-landasa motivasi RUU-HAP yang bersifat idieal, struktural dan
operasional. Oleh karena itu Pancasila, UUD’45 dan GBHN (TAP IV/MPR/1978) harus
dimaksukkan dalam konsiderans dan bila diperlukan juga Pelita III. Trilogi
Pembangunan, Sapta Krida. Delapan Jalur Pemerataan ( khususnnya jalur ke-8)
dimaksukkan juga dalam Penjelasan Umum. Ditambahkan di sini bahwa Undang-Undang
No. 15 tahun 1961 tidakj di cantumkan dalam konsidens dan dipindah/dicantumkan
dalam penjelasan umum.
4. RUU-HAP
dimaksudkan untuk melahirkan suatu Undang-Undang yang bersifat nasional dan
oleh karena itu ia merupakan unifikasi serta kodefikasi dalam bidang hukum acara
pidana yang bersifat umum.
Walaupun demikian, tidak dapat di pungkiri bahwa disamping yang umum, tentu terdapat hal-hal yang bersifat khusus, juga dalam bidang hukum acara pidana ini, maka oleh karena itu yang bersifat khusus itu tentu tunduk pada acara khusus yang ditetapkan untuk itu dalam berbagai undang-undang. Diluar yang khusus itu, semuannya tunduk pada Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan lahir ini;
Walaupun demikian, tidak dapat di pungkiri bahwa disamping yang umum, tentu terdapat hal-hal yang bersifat khusus, juga dalam bidang hukum acara pidana ini, maka oleh karena itu yang bersifat khusus itu tentu tunduk pada acara khusus yang ditetapkan untuk itu dalam berbagai undang-undang. Diluar yang khusus itu, semuannya tunduk pada Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan lahir ini;
5. Adanya
ketentuan umum dalam RUU-HAP sangat di perlukan dan harus ada demi kejelasan
arti serta makna dari istilah-istilah tertentu yang terdapat dalam
pasal-pasalnnya, meskipun dalam tingkat pembahasan sekarang ini masih tetap
terbuka untuk penyempurnaan;
6. Yang
dimaksud denagn hak asasi, yang merupakan slah satu landasan pokok serta yang
menjiwai RUU-HAP ini, termaksuk kedudukan dan hak-hak tersangka, terdakwa dan
lain-lain sebagainnya yang perlu diperhatikan adalah asas-asas sebagai berikut;
a) Preduga
tak bersalah (presumption of in no cence)
b) Peradilan
yang merdeka, terbuka, bebas, jujur dan tidak memihak (fair tria), disamping
cepat, sederhana dan biaya ringan;
c) Persamaan
dimuka umum (equality before the low), dan
d) Hak
pemberian bantuan hukum/ bantuan hukum (legal sid/assistance);
7. Bantuan/nasihat
hukum diberikan kepada tersangka, terdakwa oleh seorang penasehat huku
(pembela) selama berjalannya proses pidana menurut aturan serta tatacara yang
ditentukan itu. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini, bahwa selama
berlangsunnya pemeriksaan pada tingkat penyidik dan/atau penuntut, seorang
tersangka/terdakwa dapat di dampingi seorang pembela, tetapi dengan ketentuan
bahwa pembela itu bersifat pasif (within singht and within hearing);
8. Pengawasan
atas jalannya proses pidana agar dapat berjalan dengan sebaik-baiknnya
dilaksanakan dnegan cara mengintensifkan:
a) Built
in control ( suatu pengawasan secara struktural procedural dari tiap tingkatan
pelaksana proses pidana, yang dinamakan pengawasan vertical);
b) Pengawasan
horizontal ( suatu pengawasan antar tiap tingkat pelaksana dalam proses
pidana);
Bila
(a) dan (b) diangap kurang cukup, maka sebelum perkaranya diajukan ke sidang
pengadilan dapat diadakan intitusi baru semacam habeas corpus atau prae-trial.
9. Surat
dakwaan (yang disusun dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh siapa pun,
khususnya bagi terdakwa) dan berkas perkara diberikan untuk dibaca kepada
penasehat hukum/pembela dalam waktu yang cukup untuk mempelajarinya .
10. Surat
keputusan pengadilan sewaktu putusan dijatuhkan/diumumkan harus sudah merupakan
surat yang resmi final(net), sehingga segera setelah itu secepannya dapat
diberikan dsalinannya, bilamana perlu dapat berupa foto kopi yang di
outentikasikan ;
11. “kewajinban
mundur bagi hakim”, dalam hubungan darah denagn terdakwa dan sebab lain yang
wajar berlaku dalam semua tingkat badan peradilan umum;
12. Tentang
ganti rugi atau rehabilitasi yang perkarannya menurut hukum tidak sampai
kepengadilan, dapat diajukan ganti rugi menurut prosedur yang akan dirumuskan,
dan tentang bentuk rehabilitasi bila hal ini terjadi, kirannya dapat di temukan
suatu “bentuk” yang memadai, yang”bentuk” berkekuatan sama dengan rehabilitasi
yang diberikan oleh pengadialan;
13. Kasasi
untuk perkara-perkara militer adalah Undang-Undang No.14 Tahun 1970 dan juga
telah dirumuskan dalam RUU-HAP ini;
Untuk
membicarakan dan merumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana lebih
lanjut, di bentuk Tim Sinkronisasi yang diberikan mandate penuh oleh SIGAB
Komisi III dan I DPR-RI.
Tim Sinkronisasi bersama wakil dari
pemerintah mulai melakukan rapat pada tanggal 25 Mei 1980 untuk membicarakan
dan meeumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Rapat-rapat
dilakukan secara marathon dan tidak hanya dilakukan di gedung DPR RI, Senayan
Jakarta, tetapi juga di luar gedung DPR RI, yaitu Megamendung, Bogor, dan di
Jalan Aditya Warman 8, Kebayoran Jakrata.
Setelah melakukan tugasnya kurang lebih
selama 2 tahun, Tim Sinkronisasi berhasil menyelesaikan tugasnnya dan pada
tanggal 9 September 1981, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut
di setujui oleh SIGAB Komisi III dan I DPR RI.
Perlu dikemukakan disini bahwa, dalam
membahas Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut Tim Sinkronisasi
bersama pemerintah mengalami hambatan-hambatan dalam membahas Bab Ketentuan
Peralihan dan Pasal 115, tentang hadirnnya penasehat hukum pada saat
pemeriksaan pendahuluan. Namun hambatan-hambatan tersebuta dapat diatasi denagn
melakukan lobbying dan sarahsehan antara Pimpinan Dewan, Pimpinan Fraksi dan
Pimpinan Gabungan Komisi.
Dalam menyelesaikan penyusunan rancangan
Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah pula diminta sumbangan pendapat dari
ahli bahasa.
Akhirnya pada tanggal 23 September 1981,
setelah penyampaian pendapat akhir oleh semua Fraksi, dalam DPR RI dalam Sidang
paripurna, maka Rancangan Undang-Undnag Acara Pidana di setujui DPR untuk
disahkan sebagai Undang-Undang.
Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana
tersebut telah di setujui oleh DPR untuk disahkan oleh President menjadi
Undang-Undang. Presiden pada tanggal 31 Desember 1981 telah mengesahkan, RUU
tersebut menjadi Undang-Undang No.8 Tahun 1981(L.N.RI.NO.76;TLN No.3209).
tertanggal 31 Desember 1981.
Adapun perbedaan yang fundamental antara
KUHAP dengan HIR adalah mengenai perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia. Hal ini Nampak dengan diaturnya dalam KUHAP ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
1. Hak-hak
tersangak atau terdakwa
2. Bantuan
hukum pada semua tingkat pemeriksaan
3. Dasar
hukum untuk penagkapan dan penahahanan dan pembatasan jangka waktunnya
4. Ganti
kerugian dan rehabilitasi
5. Pengabungan
perkara pada perkara pidana dalam hal ganti rugi;
6. Upaya-upaya
hukum
7. Koneksitas
8. Pengawasan
pelaksanaan, putusan pengadilan.
Ruang
lingkup kegiatan hukum acara pidana. Dapat kita katakana bahwa pada hakekatnnya
ruang lingkup kegiatan hukum acara pidana itu meliputu hal-hal yang disebutkan
dibawah ini:
1. Pendinyidikan
perkara pidana.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkannya, seperti misalnya pencurian, penipuan , penggelapan, penganiayaan dan sebagainnya, yang telah terjadi atau dilaporkan, dari mulai masih gelap sehingga menjadi terang, terang dalam arti, bahwa unsur-unsur tindak pidana untuk menuntut peristiwa itu dimuka hakim menjadi lengkap dan siapakah tersangkannya.
Penyidikan adalah tugas penyidik. Adapun penyidik itu dijabat oleh kepolisian.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkannya, seperti misalnya pencurian, penipuan , penggelapan, penganiayaan dan sebagainnya, yang telah terjadi atau dilaporkan, dari mulai masih gelap sehingga menjadi terang, terang dalam arti, bahwa unsur-unsur tindak pidana untuk menuntut peristiwa itu dimuka hakim menjadi lengkap dan siapakah tersangkannya.
Penyidikan adalah tugas penyidik. Adapun penyidik itu dijabat oleh kepolisian.
2. Penuntutan
perkara pidana.
Menununtut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menutut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya di periksa dan putus oleh hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan perkara pidana adalah tugas yang dilakukan oleh kejaksaan. Dengan melakukan penuntutan oerkara maka jaksa seakan-akan mengakhiri penyidikan dan menyerahkan pemeriksaan serta keputusannya kepada hakim.
Menununtut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menutut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya di periksa dan putus oleh hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan perkara pidana adalah tugas yang dilakukan oleh kejaksaan. Dengan melakukan penuntutan oerkara maka jaksa seakan-akan mengakhiri penyidikan dan menyerahkan pemeriksaan serta keputusannya kepada hakim.
3. Peradilan
perkara pidana.
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana berdasarkan azas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana, yaitu memeriksa dan dengan bukti-bukti yang cukup menentukan:
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana berdasarkan azas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana, yaitu memeriksa dan dengan bukti-bukti yang cukup menentukan:
a) Betulkah
peristiwa yang telah terjadi dan di tuduhkan kepada tedakwa itu merupakan suatu
peristiwa pidana?.
b) Betulkah
terdakwa cukup terbukti kesalahannya telah melakukan peristiwa pidana itu? Dan
c) Apabila
betul, kemudian menjatuhkan pidana yang setimpal kepada terdakwannya atas
kesalahannya itu.
Menjalankan perkara pidana adalah
tugas dari pengadilan.
4. Pelaksanaan
keputusan hakim.
Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar suya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dilaksanakan, misalnnya pabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya terdakwa segera di keluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda agar supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam rumah Lembaga Permasyarakatan dan sebagainnya.
Pelaksanaan keputusan pengadilan yang biasa disebut pula eksekusi itu adalah tugas dari kejaksaan.
Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar suya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dilaksanakan, misalnnya pabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya terdakwa segera di keluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda agar supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam rumah Lembaga Permasyarakatan dan sebagainnya.
Pelaksanaan keputusan pengadilan yang biasa disebut pula eksekusi itu adalah tugas dari kejaksaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Pettanaasse,Syarifuddin; Hukum Acara Pidana,Bandung;Angkasa, 2010.
Soesilo, R;Hukum Acara Pidana, Bogor; Politeia
Pettanaasse,Syarifuddin; Hukum Acara Pidana,Bandung;Angkasa, 2010.
Soesilo, R;Hukum Acara Pidana, Bogor; Politeia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar