Jumat, 12 April 2013

PROSES PEMBENTUKAN KUHAP



            Penyusunan rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dimulai pada tahun 1967 dengan dibentuknya panitia intern departemen kehakiman. Tapi sebenarnya embrio dalam rangka pembentukan Undang-Undang  Hukum Acara Pidana sudah ada sejak tahun 1965. Waktu itu sudah ada Draft Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dibicarakan dalam forum DPRD. Oleh pemerintah Draft ini dapat ditarik kembali karena belum dapat dipertanggungjawabkan.
            Berikutnya pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II di Semarang, tentang Hukum Acara Pidana dan Hak-Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Ditahun 1973 Panitia Intern Departemen Kehakiman dengan memperhatikan kesimpulan Seminar Hukum Nasional tersebut menghasilkan naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang kemudian dibahas bersama oleh suatu tim antardepartemen, yakni Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan Departemen Kehakiman, yang dipimpin oleh Menteri Kehakiman Prov.Oemar Seno Adji.
            Pembahasan oleh tim antar Departemen ini untuk beberapa materi mengalami jalan buntu, sehingga sulit dipertemukan.
            Adapun materi yang dimaksud adalah tentang:
1.      Penyidikan dan penyidikan lanjutan;
2.       Koordinasi, pengawasan dan pemberian petunjuk oleh jaksa kepada Penyidik;
3.      Rechter Commissaris/Hakim Pengawas dan
4.      Pemberian bantuan hukum;
Untuk memecahkan perbedaan pendapat-pendapat tersebut diatas, maka atas prakarsa Menteri Kehakiman diadakan pertemuan tiga pimpinan tertinggi instansi penegak hukum, yaitu Menteri Kehakiman Prof.Oemar Seno Adji, Jaksa Agung Ali Said,S.H, dan Kapolri Jenderal Pol.Drs.Moch.Hasan,S.H, yang dikoordinasikan oleh Men.Hankam/Pangab yang pada waktu itu diwakili oleh Kaskopkamtib Laksamana Sudomo.
Sementara pembahasan dan penyusunan Rencana Undang-Undang yang disepakati bersama belum selesai, pada tahun 1974 terjadi pergantian Menteri Kehakiman dari Prof.Oemar Seno Adji kepada Prof.Dr.Mochtar Koesoemaatdja. Pada waktu Prof.Dr.Mochtar Koesoemaatdja menjadi Menteri Kehakiman itu, penyempurnaan rancangan tersebut diteruskan. Pada tahun 1974 rancangan itu dilimpahkan pada Sekretariat Kabinet oleh Menteri Kehakiman.
      Setelah oleh Sekretariat Kabinet diminta lagi pendapat Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Departemen Hankam termasuk Polri dan Departemen Kehakiman, maka naskah rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut dibahas kembali dalam rapat koordinasi antara wakil-wakil dari keempat instansi tersebut.
      Setelah Moedjono,S.H menjadi Menteri Kehakiman, nampaknya kegiatan dalam penyusunan tersebut diintensifkan dan pada tahun 1979 diadakan pertemuan antara Menteri Kehakiman Moedjono,S.H, Jaksa Agung Ali Said,S.H, Kapolri Jenderal Pol.Dr.Awaluddin,MPA,dan wakil dari Mahkamah Agung untuk membahas beberapa hal yang perlu guna menyempurnakan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut.
Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Panitia kecuali memperhatikan hasil-hasil seminar Hukum Nasional ke-II di Semarang tersebut diatas, juga memperhatikan pendapat-pendapat para ahli hukum lainnya yang tergabung dalam organisasi profesi seperti Persatuan Advokad Indonesia (Peradin). Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja), Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), baik yang diajukan melalui Seminar maupun kegiatan lain seperti kongres, rapat kerja dan lain-lain.
            Perlu dikemukakan di sini, bahwa selama RUUHAP (draft I) berada di Sekretariat Kabinet setelah diserahkan oleh Depertemen Kehakiman, telah mengalami penyempurnaan sebanyak empat kali. Sehingga konsep terakhir dari Pemerintah yang siap diajukan ke DPR itu merupakan draft yang ke-V, sebagai hasil kesepakatan yang di capai, terutama antara Polri dan Kejaksaan.
            Dengan amanat Presiden tanggal 12 September 1979 No. R. 08/PU/IX/1979, maka disampakanlah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana kepada DPR-RI untuk dibicarakan dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia guna mendapatkan persetujuaannya.
            Perlu dikemukakan disini, bahwa rancangan tersebut agak lain dengan rancangan yang disusun pada masa Menteri Kehakiman di jabat oleh Prof. Oemr Seno Adji tahun 1973 di atas.
            Pada tanggal 9 Oktober 1979 dalam membicarakan tingkat I, Menteri Kehakiman menyampaikan keterangan pemerintah tentang Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam suatu sidang paripurna DPR-RI.
            Pada tanggal 8 Noivember 1979, yaitu pembicaraan tinggkat II Fraksi-fraksi dalam DPR-RI memberikan pemandangan umum terhadap Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut, yang kemudian pada tanggal 29 November 1979 dilanjtutkan dengan jawaban darp pemerintah.
            Pembicaraan tingkat III, dilakukan dalam sidang komisi. Diputuskan oleh Badan Musyawarah DPR-RI, bahwa pembicaraan tingkat III Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana ini dilakukan oleh Gabungan Komisi III (Bidang Hukum) dan Komisi I (Bidang Politik dan Hankam) serta Pemerintah, yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Kehakiman dibantu oleh staf yang terdiri dari unsure-unsur Kehakiman, Kejaksaaan Agung, dan Polri.
            Sidang Gabungan Komisi (SIGAP) III dan I DPR-RI serta pemerintah mulai membicarakan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut pada tanggal 24 November 1979 sampai dengan tanggal 22 Mei 1980 di gedung DPR-RI Senayan, Jakarta. Pembicaraan dalam jangka waktu tersebut pada pembahasan materi secara umum yang menghasilkan putusan penting yang terkenal dengan nama “13 kesepaknma pendapat”, yang mengandung materi pokok yang akan dituangkan dalam pasal-pasal Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 13 putusan tersebuat adalah sebagai berikut:
1.      RUU-HAP dalam pembahasan pada tingkat III ini terbuka untuk disempurnaan;
2.      Perpanjangan waktu dapat disetujui sebagai akibat dari perkembangan serta didasarkan atas kebutuhan yang nyata diperlukan dalam pembahasan tingkat III.
3.      Konsiderans setuju untuk disempurnaan, sehingga dapat serta mampu mencerminkan landasan-landasa motivasi RUU-HAP yang bersifat idieal, struktural dan operasional. Oleh karena itu Pancasila, UUD’45 dan GBHN (TAP IV/MPR/1978) harus dimaksukkan dalam konsiderans dan bila diperlukan juga Pelita III. Trilogi Pembangunan, Sapta Krida. Delapan Jalur Pemerataan ( khususnnya jalur ke-8) dimaksukkan juga dalam Penjelasan Umum. Ditambahkan di sini bahwa Undang-Undang No. 15 tahun 1961 tidakj di cantumkan dalam konsidens dan dipindah/dicantumkan dalam penjelasan umum.
4.      RUU-HAP dimaksudkan untuk melahirkan suatu Undang-Undang yang bersifat nasional dan oleh karena itu ia merupakan unifikasi serta kodefikasi dalam bidang hukum acara pidana yang bersifat umum. 
Walaupun demikian, tidak dapat di pungkiri bahwa disamping yang umum, tentu terdapat hal-hal yang bersifat khusus, juga dalam bidang hukum acara pidana ini, maka oleh karena itu yang bersifat khusus itu tentu tunduk pada acara khusus yang ditetapkan untuk itu dalam berbagai undang-undang. Diluar yang khusus itu, semuannya tunduk pada Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan lahir ini;
5.      Adanya ketentuan umum dalam RUU-HAP sangat di perlukan dan harus ada demi kejelasan arti serta makna dari istilah-istilah tertentu yang terdapat dalam pasal-pasalnnya, meskipun dalam tingkat pembahasan sekarang ini masih tetap terbuka untuk penyempurnaan;
6.      Yang dimaksud denagn hak asasi, yang merupakan slah satu landasan pokok serta yang menjiwai RUU-HAP ini, termaksuk kedudukan dan hak-hak tersangka, terdakwa dan lain-lain sebagainnya yang perlu diperhatikan adalah asas-asas sebagai berikut;  
a)      Preduga tak bersalah (presumption of in no cence)
b)      Peradilan yang merdeka, terbuka, bebas, jujur dan tidak memihak (fair tria), disamping cepat, sederhana dan biaya ringan;
c)      Persamaan dimuka umum (equality before the low), dan
d)     Hak pemberian bantuan hukum/ bantuan hukum (legal sid/assistance);
7.      Bantuan/nasihat hukum diberikan kepada tersangka, terdakwa oleh seorang penasehat huku (pembela) selama berjalannya proses pidana menurut aturan serta tatacara yang ditentukan itu. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini, bahwa selama berlangsunnya pemeriksaan pada tingkat penyidik dan/atau penuntut, seorang tersangka/terdakwa dapat di dampingi seorang pembela, tetapi dengan ketentuan bahwa pembela itu bersifat pasif (within singht and within hearing);
8.      Pengawasan atas jalannya proses pidana agar dapat berjalan dengan sebaik-baiknnya dilaksanakan dnegan cara mengintensifkan:
a)      Built in control ( suatu pengawasan secara struktural procedural dari tiap tingkatan pelaksana proses pidana, yang dinamakan pengawasan vertical);
b)      Pengawasan horizontal ( suatu pengawasan antar tiap tingkat pelaksana dalam proses pidana);
Bila (a) dan (b) diangap kurang cukup, maka sebelum perkaranya diajukan ke sidang pengadilan dapat diadakan intitusi baru semacam habeas corpus atau prae-trial.
9.      Surat dakwaan (yang disusun dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh siapa pun, khususnya bagi terdakwa) dan berkas perkara diberikan untuk dibaca kepada penasehat hukum/pembela dalam waktu yang cukup untuk mempelajarinya .
10.  Surat keputusan pengadilan sewaktu putusan dijatuhkan/diumumkan harus sudah merupakan surat yang resmi final(net), sehingga segera setelah itu secepannya dapat diberikan dsalinannya, bilamana perlu dapat berupa foto kopi yang di outentikasikan ;
11.  “kewajinban mundur bagi hakim”, dalam hubungan darah denagn terdakwa dan sebab lain yang wajar berlaku dalam semua tingkat badan peradilan umum;
12.  Tentang ganti rugi atau rehabilitasi yang perkarannya menurut hukum tidak sampai kepengadilan, dapat diajukan ganti rugi menurut prosedur yang akan dirumuskan, dan tentang bentuk rehabilitasi bila hal ini terjadi, kirannya dapat di temukan suatu “bentuk” yang memadai, yang”bentuk” berkekuatan sama dengan rehabilitasi yang diberikan oleh pengadialan;
13.  Kasasi untuk perkara-perkara militer adalah Undang-Undang No.14 Tahun 1970 dan juga telah dirumuskan dalam RUU-HAP ini;
Untuk membicarakan dan merumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana lebih lanjut, di bentuk Tim Sinkronisasi yang diberikan mandate penuh oleh SIGAB Komisi III dan I DPR-RI.
     Tim Sinkronisasi bersama wakil dari pemerintah mulai melakukan rapat pada tanggal 25 Mei 1980 untuk membicarakan dan meeumuskan Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Rapat-rapat dilakukan secara marathon dan tidak hanya dilakukan di gedung DPR RI, Senayan Jakarta, tetapi juga di luar gedung DPR RI, yaitu Megamendung, Bogor, dan di Jalan Aditya Warman 8, Kebayoran Jakrata.
     Setelah melakukan tugasnya kurang lebih selama 2 tahun, Tim Sinkronisasi berhasil menyelesaikan tugasnnya dan pada tanggal 9 September 1981, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut di setujui oleh SIGAB Komisi III dan I DPR RI.
     Perlu dikemukakan disini bahwa, dalam membahas Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut Tim Sinkronisasi bersama pemerintah mengalami hambatan-hambatan dalam membahas Bab Ketentuan Peralihan dan Pasal 115, tentang hadirnnya penasehat hukum pada saat pemeriksaan pendahuluan. Namun hambatan-hambatan tersebuta dapat diatasi denagn melakukan lobbying dan sarahsehan antara Pimpinan Dewan, Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Gabungan Komisi.
     Dalam menyelesaikan penyusunan rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana telah pula diminta sumbangan pendapat dari ahli bahasa.
     Akhirnya pada tanggal 23 September 1981, setelah penyampaian pendapat akhir oleh semua Fraksi, dalam DPR RI dalam Sidang paripurna, maka Rancangan Undang-Undnag Acara Pidana di setujui DPR untuk disahkan sebagai Undang-Undang.
     Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana tersebut telah di setujui oleh DPR untuk disahkan oleh President menjadi Undang-Undang. Presiden pada tanggal 31 Desember 1981 telah mengesahkan, RUU tersebut menjadi Undang-Undang No.8 Tahun 1981(L.N.RI.NO.76;TLN No.3209). tertanggal 31 Desember 1981.
     Adapun perbedaan yang fundamental antara KUHAP dengan HIR adalah mengenai perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Hal ini Nampak dengan diaturnya dalam KUHAP ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
1.      Hak-hak tersangak atau terdakwa
2.      Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan
3.      Dasar hukum untuk penagkapan dan penahahanan dan pembatasan jangka waktunnya
4.      Ganti kerugian dan rehabilitasi
5.      Pengabungan perkara pada perkara pidana dalam hal ganti rugi;
6.      Upaya-upaya hukum
7.      Koneksitas
8.      Pengawasan pelaksanaan, putusan pengadilan.
Ruang lingkup kegiatan hukum acara pidana. Dapat kita katakana bahwa pada hakekatnnya ruang lingkup kegiatan hukum acara pidana itu meliputu hal-hal yang disebutkan dibawah ini:
1.      Pendinyidikan perkara pidana.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkannya, seperti misalnya pencurian, penipuan , penggelapan, penganiayaan dan sebagainnya, yang telah terjadi atau dilaporkan, dari mulai masih gelap sehingga menjadi terang, terang dalam arti, bahwa unsur-unsur tindak pidana untuk menuntut peristiwa itu dimuka hakim menjadi lengkap dan siapakah tersangkannya.
Penyidikan adalah tugas penyidik. Adapun penyidik itu dijabat oleh kepolisian.
2.      Penuntutan perkara pidana.
Menununtut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menutut cara yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya di periksa dan putus oleh hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan perkara pidana adalah tugas yang dilakukan oleh kejaksaan. Dengan melakukan penuntutan oerkara maka jaksa seakan-akan mengakhiri penyidikan  dan menyerahkan pemeriksaan serta keputusannya kepada hakim.
3.      Peradilan perkara pidana.
Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa dan memutuskan perkara pidana berdasarkan azas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana, yaitu memeriksa dan dengan bukti-bukti yang cukup menentukan:
a)      Betulkah peristiwa yang telah terjadi dan di tuduhkan kepada tedakwa itu merupakan suatu peristiwa pidana?.
b)      Betulkah terdakwa cukup terbukti kesalahannya telah melakukan peristiwa pidana itu? Dan
c)      Apabila betul, kemudian menjatuhkan pidana yang setimpal kepada terdakwannya atas kesalahannya itu.
Menjalankan perkara pidana adalah tugas dari pengadilan.
4.      Pelaksanaan keputusan hakim.
Melaksanakan keputusan hakim adalah menyelenggarakan agar suya segala sesuatu yang tercantum dalam surat keputusan hakim itu dilaksanakan, misalnnya pabila keputusan itu berisi pembebasan terdakwa, agar supaya terdakwa segera di keluarkan dari tahanan, apabila berisi penjatuhan pidana denda agar supaya uang denda itu dibayar, dan apabila keputusan itu memuat penjatuhan pidana penjara, agar supaya terpidana menjalani pidananya dalam rumah Lembaga Permasyarakatan dan sebagainnya.
Pelaksanaan keputusan pengadilan yang biasa disebut pula eksekusi itu adalah tugas dari kejaksaan.

DAFTAR PUSTAKA
Pettanaasse,Syarifuddin; Hukum Acara Pidana,Bandung;Angkasa, 2010.
Soesilo, R;Hukum Acara Pidana, Bogor; Politeia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar