Selasa, 23 April 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)



Hak asaasi manusia (HAM) adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahiekan. Hak asasi merupakan hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia. Yang mana hak asasi ini dimiliki oleh seseorang adalah semata-mata karena dia manusia bukan karena pemberian oleh masyarakat melainkan pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) ini pertama kali dipermasalahkan oleh pemikir-pemikir di negara barat, yang pada perkembangan selanjutnya orang mulai membandingkan konsep-konsep barat dengan konsep-konsep sosialis dan konsep-konsep dari dunia ketiga tentang HAM.
Secara historis, HAM selalu diwarnai dengan serangkaian perjuangan yang tak jarang menjelma menjadi revolusi. Bahkan sejarah mencatat banyak kejadian yang terjadi baik secara individu maupun kelompok mengadakan perlawanan terhadap penguasa ataupun golongan untuk memperjuangkan apa yang menjdi haknya.
Di negara Barat, “Revolusi Perancis” dianggap sebagai tonggak perjuangan hak asasi manusia. Sejak pertengahan abad ke tujuh belas dengan berbagai rangkaian revolusi, sudah banyak usaha untuk merumuskan serta memperjuangkan beberapa hak yang dianggap suci dan harus dijamin. Hal ini kerap kali timbul ketika terjadi hal-hal yang dianggap menyinggung perasaan dan merendahkan martabat seseorang sebagai manusia.
Sebelum Revolusi Perancis (1789) Montesqui pernah mengingatkan tentang hal “There is not word that has been given varied meanings and evoked more varied emotions in the human heart than liberty”, bahkan lebih lanjut ia juga mengatakan some have taken it as means of deposing him on whom they had conferred a tyrannical authority; other again have meant by liberty the privilege of being governed by a native of their own country, or by their own laws; some have annexed this name to one from government exclusively of others; those we had republican taste applied it to this species of government; those who liked a monarchical state gave it to monarchy.
Dalam arti yang murni, paham kemerdekaan itu antara lain berwujud :
1.      Kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pikiran serta menganut keyakinan sendiri;
2.      Kemerdekaan untuk bersatu dengan teman-teman yang sepaham serta mempunyai tujuan-tujuan tertentu (kemerdekaan untuk berkumpul dan bersidang);
3.      Kemerdekaan untuk mengatur penghidupan sendiri tidak seperti yang diperintahkan oleh kekuasaan yang berada di atasnya.
Sebelum abad masehi, perjuangan dalam pembelaan hak asasi manusia pu telah dilakukan. Hal tersebut dapat dilihat dalam upaya-upaya tersebut :
*      Hukum Hamurabi di Babylonia yang menetapkan adanya aturan hukum yang menjamin keadilan bagi semua warga di negara Babylonia. Hukum tersebut terkenal sebagai jaminan hak asasi manusia.
*      Solon di Athena yang mengajarkan bahwa orang-orang yang diperbudak karena tidak mampu melunasi hutangnya harus dibebaskan.
*      Justianus (Kaisar Romawi, tahun 572 SM) merumuskan peraturan yang menjamin atas keadilan dan hak asasi manusia.
*      Para filsuf Yunani Kuno seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang mengemukakan pikirannya tentang jaminan hak asasi manusia.
Selanjtnya masalah tentang penegakan HAM ini berkembang di Inggris. Perjuangan para bangsawan Inggris telah melakukan perjuangan utuk mendapatkan kembali hak-haknya yang telah dicampakkan oleh raja John yang bertahta pada saat itu, yang akhirnya melahirkan Piagam Agung “Magna Charta” (1215) yakni sebuah dokumen resmi yang isinya antara lain memberikan batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolute dan totaliter sehingga hak-hak dasar rakyat tetap terjamin. Kemudian pada tahun 1689, di Inggris diasahkan oleh parlemen Inggris sebuah undang-undang hak yakni  “Bill of Rights”, setelah sebelumnya terjadi revolusi berdarah yang dikenal dengan nama “The Glorious Revolution”. Revolusi ini merupakan revolusi emanisipasitorik untuk memberikan perlawanan terhadap raja James II yang berkuasa saat itu.
Gerakan emanisipasitorik dan revolusi kemanusian yang terjadi menjadi sumber inspirasi timbulnya gerakan revolusioner di Perancis dan Amerika. Pada tahun 1789, di Perancis dicetuskan Declarastion des Droits de l’home st du Citoyen, sebuah deklarasi yang menjamin persamaan hak dan penghormatan terhadap harkat dan mertabat kemanusiaan yakni Liberte, egaliite dan fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), yang kemudian menjadi akar demokrasi dan menyebar ke berbagai penjuru dunia, serta mampu menumbuhkan inspirasi pada banyak bangsa untuk mencari alternative demokratif bagi system politik lama. Demikian pula di Amerika, pada kurun waktu yang hamper bersamaan disahkan sebuah undang-undang hak (the bill of rights) yang kemudian menjadi bagian utama dari Undang-undang Dasar Amerika pada ahun 1791. Bill of Rights maupun Declarastion des Droits de l’home st du Citoyen merupakan konkrettisasi kemauan masyarakat (volente generale) untuk membentuk peraturan hukum yang secara formal dapat menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia agar para penguasa tidak bertindak sewenang-wenang, represif dan otorite terhadap yang lemah dan tidak berkuasa.
Gerakan-gerakan emansipasitorik tersebut lebih banyak mendapat inspirasi dari gagasan-gagasan hukum alam  (nature law) sebagaimana diintrodusir oleh John Locke (1632-1704) dan Jean Jaques Rousseau (1722-1788). Dalam mazhaab hukum alam konsepsi dasar hak-hak asasi manusia hanya meliputi the right to life, the right to liverty, dan the right to property.
Menurut John Locke, manusia mula-mula belum bermasyarakat, tetapi berada dalam keadaan alamiah, state of nature yaitu suatu keadaan dimana belum terdapat kekuasaan dan otorita apa-apa, semua orang bebas dan sama derajatnya. Selanjutnya dalam perkembangannya, diantara orang-orang tersebut terjadi cekcok karena adanya perbedaan pemikiran dan pemilikan harta benda. Dalam kondisi “state war” sepertiitu, timbul pemikiran untuk melindungi nilai-nilai mereka yang paling fundamental dan esensial seperti hak untuk hidup, hak untuk merdeka, dan hak terhadap milik pribadi. Selanjutnya mereka membuat perjanjian untuk bermasyarakat dan menyerahkan sebagian dari hak-hak mereka kepada pemimpin dan pemimpin bertugas melindungi hak-hak mereka tersebut. Menurut Locke ada hak-hak individu dan masyarakat yang tidak dapat dipisahkan dari dirinya dan diserahkan kepada pemimpin, hak tersebut adalah hak atas hidup, hak atas kemerdekaan, dan hak atas milik pribadi, karena semua hak tersebut adalah hak yang diterima manusia sejak ia dilahirkan.
Perkembangan selanjutnya, konsepsi-konsepsi hak-hak asasi manusia terus mengalami perubahan. Hak-hak asasi manusia warisan masa lampau ternyata tidak responsive dan aspiratif lagi dengan situsai social yang makin lama makin berkembang, sehingga perlunya perllindungan terhadap hak-hak diluar hak yang bersifat yuridik politik saja seperti hak dalam bidang ekonomi, social, dan budaya. Dalam hal ini, presiden Amerika Franklin D. Roosevelt pada permulaan abad ke-20 memformlasikan 4 macam hak-hak asai yang kemudian dikenal dengan “The Four Freedoms”, yaitu freedom of speech, freedom of religion, freedom fear dan freedom from want. Roosevelt menyatakan bahwa hak manusia harus juga mencakup bidang ekonomi, social dan budaya.
Dimensi hak-hak asasi yang dirumuskan oleh D. Rosevelt itu kemudian menjadi inspirasi dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari “Declaration of Human Rights ” tahun 1948 di mana seluruh umat manusia melalui wakil-wakilnya tergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) seia sekata bertekad untuk memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridik formal terhadap hak-hak asasi dan merealisasikannya. Dalam deklarasi tersebut manusia mendapat posisi sentral dimana harkat dan martabat manusia, hak- hak dan kebebasan asasinya di junjung tinggi dengan tak ada pegecualian apa pun. Secara teoritik deklarasi tersebut dikelompokkan dalam 2 bagian yaitu bagian pertama menyangkut hak- hak politik dan yuridik, bagian kedua menyangkut hak- hak atas martabat dan integritas manusia, dan bagian ketiga menyangkut hak- hak social, ekonomi, dan hak- hak budaya. Konsekwensinya hak- hak asasi manusia harus dilihat dan dipahami secara utuh, tidak parsial. Namun dalam faktanya tidak demikian, kerap kali hak- hak yang diutamakan adalah hak- hak politik dan yuridis. Dari situasi tersebut tampaklah deklarasi HAM tahun 1948 itu isinya sarat dengan hak- hak politik dan yuridik dan bahkan menjadi ciri khasnya. Deklarasi ini dalam pembabakan perkembangan konsepsi hak- hak manusia disebut sebagai “generasi pertama hak- hak asasi manusia.”
Pada awal tahun 1960 baru ada upaya dari komisi hak asasi PBB untuk merekonseptualisasi dan mereaktualisasi hak- hak aktualisasi manusia dan dalam upaya ini hak- hak dalam bidang ekonomi, social, dan budaya mendapat posisi perhatian yang lebih besar. Pada tahun 1966 upaya tersebut mencapai puncaknya ketika sidang umum PBB mengesahkan international convenant on economic, social and cultural rights and international convenant on civil and political rights serta protocol tambahan yang mengatur hak- hak sipil dan politk. Dua konvenan inilah yang menjadi dokumen dasar “generasi II” konsepsi dasar HAM sebagai babak baru dalam perkembangan HAM.
Pada generasi II hak- hak ekosop mendapat perhatian yang sangat besar dan merupakan reaksi antitesa terhadap konsepsi dasar generasi I HAM yang lebih menekankan hak politik dan yuridik.
Bila diamati secara teliti pada dasarnya kedua dokumen HAM baik dokumen tahun 1948 maupun dokumen tahun 1966 sulit sekali dibedakan karena keduanya mengantur tentang baik hak-hak yuridik, politik, maupun hak- hak ekonomi, social dan budaya namun sulit sekali menghilangkan kesan bahwa dokumen hak asasi tahun 1948 sarat dengan hak- hak yuridik dan politik sedangkan dokumen asasi 1966 sangat sarat dengan hak- hak ekosop.
Perkembangan konsepsi dasar hak-hak asasi manusia dari generasi I sampai dengan generasi II mencerminkan perubahan pemikiran umat manusia mengenai hak asasi manusia. Karena itu konsepsi dasar hak- hak asasi manusia, baik generasi I yang mempunyai ciri keutamaan pada pelaksanaan hak- hak politik dan hukum, maupun generasi II yang mempunyai ciri keutamaan pada pemenuhan hak- hak ekosop harus disintesakan menjadi konsepsi baru yang lebih luas dan secara akomodatif mampu mencakupi isi dan ruang lingkup konsepsi dasar generasi I dan generasi II HAM yang dalam pembabakan sejarah perkembangan hak- hak asasi manusia disebut “The rights to development” yaitu hak-hak atas pembangunan, dan inilah yang merupakan “generasi II” HAM.
Hak-hak atas pembangunan sebagai paradigma baru terhadap hak-hak asasi manusia muncul sebagai reaksi dan protes terhadap pola pembangunan yang dilakukan oleh negara- negara dunia ketiga dimana makna pembangunan telah mengalami distorsi yang sangat parah. Pola pembangunan yang diterapkan yaitu pola pembangunan yang memberikan priorioritas pada pembangunan dan ekonomi dan pembangunan  dalam bidang-bidang lainya dikecualikan. Pola pembangunan yang seperti itu mensyaratkan terpeliharanya stabilitas dan untuk mencapai hak tersebut  hak-hak dan kebebasan dasar rakyat harus dipreteli dan bila perlu dicampakkan.
Hak- hak atas pembangunan pasda dasarnya bukanlah hak- hak yang baru sama sekali akan tetapi merupakan perluasan dan penekanan kembali terhadap beberapa pasal yang tercantum dalam universal declaration of human rights dan menjadi elemen-elemen utama dari konsepsi hak- hak atas pembangunan. Pada prinsipnya the rights to development merupakan hak rakyat mayoritas untuk membebaskan diri dari belengu kemiskinan, ketidak adilan, keterbelakangan, kemelaratan dankeragu-raguan. Karena itu pembangunan harus dilihat sebagai suatu proses yang secara sengaja dibuat untuk menciptakan kondisi-kondisi sehingga setiap orang dapat menikmati, menjalankan, memanfaatkan semua hak asasinya baik dibidang ekonomi, social, budaya maupun politik. Pembangunan yang dilaksanakan harus pula memperhatikan, menghormati hak- hak tersebut secara professional tanpa mengutamakan yang satu dan mengabaikan yang lainnya.













Sumber / refernsi buku :
Harman, Beny K. dan Paul S. Baut. 1988. Kompilasi Deklarasi Hak Asasi Manusia. Jakarta : Yayasan lembaga Bantuan Hukum.
Sunggono, Bambang dan Aries Harianto. 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: Mandar Maju.

1 komentar:

  1. Makasih. artikelnya sangat bermanfaat.. kalau ada waktu jangan lupa mampir di Tugas dan Materi Kuliah.
    salam kenal.

    BalasHapus