Kamis, 21 Mei 2015

Penyelesaian Pelanggaran Lalu Lintas Melalui Cara Damai Ditinjau dari Perspektif Sosiologi Hukum.

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Pengembangan sosial masyarakat menuntut kecepatan perealisasaian akan kebutuhan masyarakat. Begitu juga dengan keberadaan hukum yang dituntut untuk merespon segala problematika dan berbagai persilangan kepentingan masyarakat. Hukum sebagai alat rekayasa sosialharus berdasarkan aspirasi masyarakat.
Dalam perealisasian kebutuhan masyarakat itu, semakin banyak alat transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga menimbulkan banyaknya problema dalam masyarakat, diantaranya adalah banyaknya pelanggaran yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari mulai dari pelanggaran rambu-rambu lalu lintas sampai dengan kelengkapan kendaraan yang tidak sesuai dengan aturan yang ada, sehingga dapat mengganggu ketertiban dalam masyarakat, khususnya terkait masalah penggunaan alat transportasi.
Pada kehidupan saat ini, transportasi adalah salah satu hal yang sangat penting. Transportasi seakan sebagai bagian dari kehidupan karena manusia yang juga mempunyai sifat bergerak atau mobilitas sebagai mahkluk sosial. Dengan adanya transportasi dan sarana transportasi masyarakat dapat menuju ke berbagai tempat yang akan ditujunya dengan mudah. Hal tersebut akan terjadi jika masyarakat dapat menggunakan serta mengembangkan transportasi dan sarana transportasi dengan baik. Namun tidak sedikit orangyang hanya memikirkan kepentingannya pribadi dalam menggunakan trasnportasi dan sarana transportasi. Penggunaan transportasi yang demikian mengakibatkan terabaikannya kepentingan umum. Terabaikannya kepentingan umum inilah terkadang mengakibatkan terjadinya pelanggaran lalu lintas.
Pelanggaran merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang atau lebih, namun perbuatan itu baru disadari oleh orang tersebut sebagai pelanggaran ketika ternyata perbuatantersebut diatur dalam undnag-undang.Setiap pelanggaran hukum yang terjadi harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum dengan sikap profesional dan menjunjung tinggi hak asasi setiap warganya. Peranan aparat hukum sangat menentukan proses penegakan hukum dalam suatu negara, karena sebaik apapun aturan hukum yang dibuat, bila kualitas penegak hukumnya kurang baik maka akan menghambat pelaksanaan penegakan hukum tersebut.
Pada hakikatnya, melalui sosiologi hukum kita mengetahui adanya pelanggaran hukum yangmerupakan objek yang menyentuh dari aspek sosiologi hukumatau aspek sosial masyarakat. Karena  suatu sistem hukum merupakan pencerminan dari sistem sosial, dimana sistem hukum tadi merupakan bagiannya. Akan tetapi persoalannya tidak semudah itu, karena perlu diteliti dalam keadaan-keadaan apa dan dengan cara-cara yang bagaimana sistem sosial mempengaruhi suatu sistem hukum sebagai subsistemnya, dan bagaimanakah proses tersebut mempengaruhi.Sosiologi hukum merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.[1]
Tinjauan utama dari peraturan lalu lintas adalah untuk mempertinggi mutu kelancaran dan keamanan dari semua lalu lintas di jalan-jalan.[2]Identifikasi masalah-masalah yang dihadapi di jalan raya berkisar pada lalu lintas. Masalah-masalah lalu lintas, secara konvensional berkisar pada kemacetan lalu lintas, pelanggaran lalu lintas, kecelakaan lalu lintas, kesabaran dan pencemaran lingkungan. Keadaan kemacetan lalu lintas berarti hambatan proses atau gerak pemakai jalan yang terjadi di suatu tempat. Hambatan dapat terjadi dalam batas-batas yang wajar; namun mungkin dalam batas waktu yang relatif pendek.
Masalah-masalah lalu lintas tersebut diperlukan pengawasan yang lebih oleh aparat dalam hal ini adalah polisi lalu lintas yang melakukan penertiban bagi masyarakat pengguna kendaraan untuk tidak melakukan tindakan melawan hukum.
Pelaksanaan aturan tersebut tidak segampang itu diterima oleh masyarakat, sehingga polisi lalu lintas harus ekstra aktif dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai aturan-aturan dalam berlalu lintas, agar terciptanya masyarakat yang tertib dalam berlalu lintas dan tidak buta akan aturan yang ada. Penerapan aturan tersebut masih kurang efektif karena aturan tersebut belum tersosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat, sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengerti akan aturan tersebut.
Kebiasaan penyelesaian pelanggaran lalu lintas secara damai semakin berkembang dalam masyarakat saat ini, padahal masyarakat seharusnya diberi pengetahuan tentang aturan-aturan dalam berlalu lintas dan memberi sanksi yang tegas kepada mereka yang tidak mengindahkan aturan tersebut. Bukan hanya pengendara yang harus diberikan sanksi, melainkan juga polisi lalu lintasharus mendapatkan sanksi serupa. Hal tersebut dikarenakan aparat penegak hukum (polisi lalu lintas) diberikan amanat oleh undang-undang dan harus menjalankan amanat tersebut sebaik mungkin, bukan membiarkan masyarakat hidup dalam lingkungan yang tidak taat akan aturan dengan membuat kebiasaan menyelesaikan pelanggaran secara damai, tanpa harus melalui prosedur yang ada. Dengan penegakan aturan yang baik dan benar diharapkan masyarakat dapat mengerti akan ketertiban dalam berkendara agar terciptanya kehidupan yang damai dan aman saat berada di jalan raya dan membuat masyarakat menjadi sadar akan pentingnya kesadaran dalam berlalu lintas.
Berdasarakan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membuat tulisan yang berjudul Penyelesaian Pelanggaran Lalu Lintas Melalui Cara Damai Ditinjau dari Perspektif Sosiologi Hukum.


B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahn dalam penulisan ini adalah:
Bagaimanakah pandangan sosiologi hukum terhadap penyelesaian pelanggaran lalu lintas yang dilakukan secara damai dalam realitas sosial masyarakat?

PERWAKILAN NEGARA PADA ORGANISASI INTERNASIONAL


Dalam keanggotaan suatu negara dalam organisasi internasional maka negara anggota atau pemerintahan negara anggota tidak mungkin hadir secara fisik pada pertemuan yang diadakan oleh organisasi internasional, sehingga negara anggota harus diwakili oleh utusan yang ditunjuk oleh negara tersebut.
Keanggotaan dari suatu utusan atau delegasi pada suatu organisasi internasional bermacam-macam, suatu delegasi dapat terdiri dari seorang utusan dengan didampingi oleh wakilnya, penasehat atau seorang ahli. Dapat juga suatu delegasi terdiri dari seorang ketua didampingi oleh anggota delegasi. Ketua delegasi mempunyai hak untuk mewakili negaranya, sedangkan tugas dari suatu anggota delegasi telah ditentukan dalam suatu surat penunjukan.

Ketentuan bagi Delegasi
Delegasi dari negara anggota tidak bertindak atas nama sendiri, tetapi tindakan mereka merupakan tindakan dari negara anggota yang mengurusnya. Oleh karena itu, negara pengirim akan memeberikan petunjuk kepada delegasinya tentang apa yang dilakukan. Petunjuk yang diberikan pada delegasi itu biasanya mencerminkan kepentingan nasional negara anggota. Biasanya dalam praktik petunjuk itu diberikan dengan sangat luas, sehingga masih ada kemungkinan bagi delegasi untuk bertindak lebih leluasa, tetapi masih tetap dalam kebijaksanaan yang digariskan oleh negara.

Jumlah Delegasi
Menurut pasal 46 dalam Konvensi Wina tahun 1975, banyaknya delegasi suata negara tidak melebihi jumlah yang layak sesuai dengan tugas delegasi tersebut. Pada prinsipnya suatu organisasi internasional berkepentingan agar delegasi dari negara anggota dapat memberikan suaranya sesuai dengan kepentingan negara anggota yang bersangkutan.

Komposisi Delegasi
Negara anggota memilih anggota delegasinya berdasarkan pada masalah yang akan dibicarakan sesuai dengan acara dalam agenda pertemuan. Negara yang mengirim delegasinya harus mengetahui kemampuan utusannya untuk memperjuangkan kepentingan negaranya. Pengetahuan anggota delegasi harus sesuai dengan masalah yang akan dibicarakan dan kepentingan organisasi. Oleh karena itu, anggota delegasi di antaranya dapat ditunjuk oleh seorang atau lebih diplomat yang mempunyai pengetahuan politik yang secara luas.
 Delegasi pada perundingan-perundingan yang diadakan oleh organisasi internasioanl biasanya disertai dengan pedoman perundingan yang berisikan petunjuk-petunjuk bagi delegasi mengenai kebijaksanaan pemerintah negara pengirim tentang masalah yang dibicarakan dalam perundingan. Terkadang dalam anggaran dasar suatu organisasi internasional pada perundingan-perundingan tertentu hanya dapat dihadiri oleh kepala negara atau pada alat perlengkapan utama dari suatu organisasi internasional menentukan bahwa perundingan-perundingan yang diadakan  hanya dapat dihadiri oleh anggota kabinet suatu negara, tergantung pada topik yang dibicarakan. Sebagai contoh dalam Dewan Eropa (Council of Europe) diminta kehadiran menteri luar negri negara anggota.

Delegasi Asing
Pada prinsipnya utusan diplomatik untuk untuk suatu organisasi internasional adalah warga negara pengirim, namun untuk kepentingan tertentu kemungkinan negara telah menunjuk utusan negara yang terdiri dari utusan yang bukan warga negaranya tapi duduk dalam delegasi negaranya. Utusan tersebut dapat berbicara atas nama delegasinya, dapat mengajukan pertanyaan dan mengajukan pernyataan resmi atas nama negara pengirimnya.

Delegasi yang Majemuk Kewarganegaraannya
Pada delegasi yang majemuk pada umumnya akan terdiri dari delegasi masing-masing negara, yang ditunjuk sebagai wakil negaranya. Dengan demikian bukan suatu delegasi untuk beberapa negara tetapi sejumlah delegasi merupakan kombinasi untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Kombinasi tersebut berguna untuk negara kecil. Kadang-kadang beberapa negara mempunyai kepentingan yang sama dalam suatu organisasi internasioanl, dalam hal demikian ada kemungkianan akan dibentuk suatu utusan yang sifatnya umum